Mengingat masa kecil memang menyenangkan. Bisa bikin kita ketawa-ketawa sendiri saat mengingatnya. Di masa-masa itulah kenakalan-kenakalan banyak kita lakukan di mana saat dewasa kita kadang tak menduga kalau kita pernah melakukannya. Tak jarang banyak orang saat dewasa yang ingin kembali ke masa kecilnya.

Namun barang kali tidak semua pengalaman di masa kecil kita bisa membuat kita merasa terhibur dan layak untuk kita ceritakan kepada teman-teman tongkrongan kita.

Bisa dimaklumi, ya namanya juga hidup di dunia, segalanya memang menyimpan kekurangan, termasuk pengalaman masa kecil. Salah satu (semoga saja satu-satunya) pengalaman masa kecil saya yang bikin saya merasa sangat hina setiap kali mengingatnya: nyuri uang gara-gara kecanduan PlayStation.

Ya, kejadian yang waktu kecil saya anggap B aja dan baru saya sesali saat dewasa itu memang pernah saya lakukan. Setiap kali mengingatnya ingin rasanya marah sekali dengan memaki-maki diri sendiri lantaran pernah melakukan perbuatan yang sehina itu.

Bukan hanya ingin marah sama diri sendiri, tapi juga terhadap beberapa teman SD saya dulu yang memperkenalkan saya dengan gim PlayStation. Tapi, saya pikir untuk apa juga. Toh, semuanya sudah menjadi masa lalu. Cukuplah saya menjadikannya sebagai pelajaran untuk tidak melakukan kesalahan yang lebih fatal lagi, sembari menjadikan diri ini menjadi manusia yang bermanfaat bagi sekitar sebagai tebusan atas kesalahan masa silam.

Sebenarnya, saya tidak langsung tertarik saat teman-teman SD saya dulu itu mengajak saya untuk mencoba permainan gim PlayStation. Pasalnya, saya belum punya gambaran apapun tentang permainan tersebut.

Jelas saya tidak tahu apa menariknya. Ya iyalah, saya belum pernah melihatnya langsung kok. Terlebih lagi saat itu jam sekolah belum selesai dan masih ada satu mapel lagi yang akan masuk. Tapi, setelah mendengar cerita keseruan mereka memainkan permainan tersebut, saya jadi berubah pikiran.

Saya jadi pengen juga merasakan pengalaman memainkan PS yang kata mereka sangat keren itu. Alhasil, saya jadi tidak ragu lagi untuk memutuskan bolos di hari itu ikut sama teman-teman pergi ke rental PS.

Dan, itu menjadi bolos yang pertama kalinya saya lakukan. Padahal sebelum-sebelumnya saya tidak pernah sekalipun berniat untuk bolos. Apakah itu juga merupakan bolos yang terkahir kali? Tentu saja bukan.

Bolos dari sekolah lalu menuju ke rental PS bersama teman-teman justru semakin sering saya lakukan. Itu semenjak saat saya mulai semakin lihai dan mumpuni dalam memainkan stik PlayStation. Tentu saja berkat bantuan dan dukungan dari teman-teman seperjuangan saya khususnya di dunia perPES-an.

Makin ke sini, akhirnya saya pun juga jadi kecanduan sama PlayStation. Benar kata teman-teman saya, permainan ini memang keren. Kelihaian saya dalam bermain berkat bantuan dari teman-teman membuat saya semakin larut dalam kenikmatan semu yang disuguhkan permainan tersebut.

Saya jadi lupa waktu. Ritme kehidupan saya seketika berubah drastis gara-gara PS. Sayang, perubahannya justru mengarah ke hal yang negatif. Guru-guru dan teman-teman di sekolah jadi mengenal saya sebagai siswa yang berantakan, tidak karuan, jadi suka bolos, kepribadian saya “babak belur” karena kecanduan PS.

Saat itu saya seperti Majnun yang tergila-gila pada Laila. Sebagaimana Majnun yang selalu ingin berada di dekat Laila, pun demikian dengan saya ingin menghabiskan waktu hanya untuk bermain PlayStation.

Kadar kecanduan saya terhadap PlayStation semakin bernanah. Saya mulai memikirkan cara agar bisa main PS dengan sepuasnya. Tentu tidak cukup hanya mengandalkan uang jajan yang dikasi ibu. Berbicara jujur pada ibu kalau saya sudah bisa main PS sehingga uang jajan saya harus ditambah juga pilihan yang terlalu nekat. Bisa-bisa saya malah dimarahi dan tidak akan pernah dikasi uang jajan lagi. Pasalnya, bagi orang tua saya permainan yang disewakan (dalam hal ini PS) itu dilarang agama, juga mendidik anak jadi boros dan lupa waktu.

Ya, sebenarnya orang tua saya sangat melarang keras dan selalu memperingati jangan sampai saya menginjakkan kaki di rental PS. Setiap kali saya dikasi uang jajan, ibu tidak pernah lupa berpesan agar uang jajan saya tidak saya gunakan buat sewa PS. Beruntung, sejak saya awal-awal menjajal permainan tersebut sampai jadi kecanduan, orang tua saya tidak pernah tahu akan hal itu. Tentu saya sangat berharap mereka tidak pernah mengetahuinya, sehingga saya juga tetap dapat merasakan nikmatnya bermain PS.

Mereka hanya tahu kalau saya sudah mulai malas belajar dan sering bolos. Tidak pernah ada laporan yang sampai ke rumah kalau saya sering main ke rental PS. Mungkin karena guru-guru dan teman-teman (tentu saja selain teman-teman seperjuangan saya di lingkup perPES-an) di sekolah juga tidak tahu kalau saya bolos karena kecanduan PlayStation.

Saya seperti dapat dukungan dari Tuhan dan akan memuluskan langkah saya menjadi pemain PS profesional. Meski tentu saja rasa takut tetap menghantui pikiran: takut kalau sampai orang tua saya mengetahui yang sebenarnya.

Hingga kemudian sepercik ide “busuk” muncul di kepala saya, yang saya pikir hanya dengan cara inilah sehingga saya bisa benar-benar merasakan kepuasan dalam bermain PlayStation. Seolah ada bisikan yang terdengar di telinga kiri seperti ini, “Hey, curi saja uang ibumu. Dengan begitu uang jajanmu akan jadi banyak, sehingga kamu bisa bermain PS sepuasnya.”. Maka, mulailah saya melakukan perbuatan yang saat dewasa membuat saya menyesal dan merasa hina itu.

Ibu menjadi sasaran perdana yang uangnya saya curi. Sebab, selain karena saya sudah hapal betul tempat penyimpanan dompetnya, ibu juga kerap lupa jumlah uang yang tersisa di dalam dompetnya. Selama ibu menjadi korban saya, ibu tidak pernah tahu kalau uangnya ada yang hilang.

Saya baru berhenti mencuri uang ibu saat ibu tanpa sengaja mendapati saya memeriksa isi dompetnya. Akibatnya, saya dimarahi ibu dan memperingati saya agar tidak mengulanginya lagi. Tapi, saya tetap tidak mengaku kalau uangnya mau saya pakai buat sewa PS meski ibu sudah memaksa saya untuk bicara jujur.

Berikutnya, saya tidak menemukan lagi dompet ibu. Barang kali sudah dipindahkan ke tempat yang lebih aman. Lagi pula, saya juga sudah tidak berani lagi mencuri uang ibu. Takut kalau sampai dilaporin ke bapak. Bisa-bisa saya tidak bisa main PS lagi karena tidak dikasi uang jajan lagi. Ibu pun sudah tidak lagi menjadi korban saya.

Tentu saja saya harus mencari “mangsa” baru lagi. Meski ibu sudah memarahi dan memperingati saya untuk tidak mencuri uang lagi, saya tetap tidak merasa kapok. Semenjak saya berhasil beberapa kali menggasak uang ibu, saya benar-benar merasakan kepuasan yang luar biasa dalam bermain PS.

Jika sebelumnya saya hanya bisa bermain maksimal selama 2 jam saja karena hanya bermodalkan uang jajan yang dikasi ibu, maka berkat hasil uang curian saya jadi bisa bermain sampai berjam-jam. “Tradisi” ini pun tetap saya lanjutkan. Sebab, hanya dengan cara haram seperti inilah sehingga keinginan duniawi saya bisa terpenuhi.

Alhasil, jumlah korban saya semakin banyak. Semua orang yang ada di rumah uangnya sudah pernah saya “gasak”. Jadi, setiap kali saya melihat ada baju ataupun celana yang menggantung, saya akan periksa kantongnya. Kalau ada uangnya, maka akan saya ambil.

Tapi tidak semuanya, hanya beberapa saja. Supaya yang bersangkutan alias korban tidak langsung ngeh kalau uangnya ada yang hilang. Semisal, jika uang kecilnya lebih banyak dari uang besar, maka sebagian uang kecilnya yang saya ambil. Begitupun sebaliknya. Tak peduli kantong celana siapa yang saya periksa. Entah itu milik bapak saya, kakak-kakak saya, sepupu-sepupu saya, om atau tante saya. Bahkan beberapa kali kantong celana yang saya periksa ternyata milik seseorang yang sedang bertamu di rumah.

Tradisi itu saya lakukan berlangsung cukup lama. Dan selama itu pula saya merasa sangat senang dan bahagia karena keinginan saya untuk bisa bermain PS sampai puas terpenuhi. Namun, rasa bahagia itu ternyata hanya semu belaka. Saat dewasa saya justru merasa sangat menyesal lantaran pernah melakukannya.

Lha, namanya juga masih bocah. Wajar kan kalau berbuat nakal seperti itu. Ya, saya paham bahwa itu saya lakukan saat masih SD. Pemikiran saya waktu itu masih terlalu pendek, sehingga seharusnya saya tidak perlu menyesalinya. Tapi, bagaimana pun tetap saja sampai saat ini saya masih sulit memaafkan diri saya sendiri.

Uang yang saya curi itu jelas masih dibutuhkan oleh mereka. Meski mereka adalah keluarga saya sendiri, tapi tetap saja perbuatan saya itu salah. Bagaimana coba kalau uang ibu yang pernah saya curi di mana kalau diakumulasikan mencapai ratusan ribu itu ternyata akan beliau gunakan buat beli beras, ikan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Atau uang dua ratus ribu milik om saya, yang dengan diam-diam saya ambil dari dalam dompetnya ternyata akan beliau pakai buat beli obat untuk menyembuhkan penyakitnya yang mulai kambuh lagi.

Belum lagi dengan uang bapak saya, kakak saya, sepupu saya yang juga uangnya saya curi. Sudah pasti mereka masih butuh uang itu untuk suatu keperluan tertentu, namun karena saya curi membuat keperluan mereka jadi terkendala.

Ah, sial! Betapa hina diri saya ini, Tuhan.

Editor : Ciqa

Gambar: Pexels