Siapa yang hobi nulis dan suka sensi sama tulisan yang nggak sesuai PUEBI dan KBBI?

Banyak penulis di luar sana yang setelah lama menggeluti dunia tulis-menulis, jadi sering membuat tulisan semacam pengalaman; ‘suka dan duka menulis’ bla-bla-bla. Nah, sebagai insan yang hobi nulis juga, saya ingin membuat tulisan serupa. Bedanya  kali ini saya akan membagikan pengalaman ‘duka-duka punya hobi menulis (nggak pakai suka)’. Utamanya menyangkut ejaan dalam Bahasa Indonesia.

Jadi begini, dulu saat pertama kali menulis, bisa dibilang saya ini penulis prematur yang masih banyak luput perihal ejaan tulisan. Ya, seperti dulunya saya masih sering menulis “anda”, padahal yang benar “Anda”, atau kesalahan soal huruf kapital di judul, dll.

Seiring seringnya menulis, pemahaman soal ejaan itu bertumbuh, dan jadilah saya kini yang sedikit banyak tau tentang ejaan yang benar.  Hal ini malah menjadi masalah baru, karena, “Ignorance is bliss”, ketidaktahuan adalah kebahagiaan. Semakin saya melek perihal PUEBI dan KBBI-gara-gara suka nulis-, malah membuat hidup saya jadi kurang bahagia, alias jadi gampang sewot.

Pasalnya, Lur, ya, kesalahan ejaan itu bakal dengan mudah kita temui, di mana saja, dan kapan saja. Salah satu kesalahan dasar yang sering saya temukan adalah penggunaan “di” sebagai kata kerja dan “di” sebagai preposisi. Contohnya, orang sering menulis “di kirim (salah)”, padahal harusnya “dikirim (benar)”. Atau kadang kebalikan, yang harusnya “di sini (benar)” menjadi “disini (salah)”.

Saya menemukan kesalahan tersebut di mana-mana; dari room chat WhatsApp, caption Instagram, baliho-baliho pinggir jalan, hingga di tugas-tugas kuliah orang lain. Alhasil, naluri “sjw bahasa” itu muncul sendirinya seiring dengan semakin meleknya pemahaman soal bahasa. Amat gatal rasanya untuk membenarkan kesalahan-kesalahan dasar yang gampang sekali saya temui tersebut.

Lambat laun saya berusaha berdamai, dan memberi koreksi seperlunya saja. Saya berusaha mendiamkan kebisingan di kepala, dan mulai legowo untuk tak sewot ketika melihat banyak kesalahan. Lebih lagi jika melihat latar belakang orang-orang yang salah-salah tersebut, juga tidak ada nyangkut-nyangkutnya ke dunia tulisan atau bahasa. Cukup dibatin saja. Takutnya, jika hal ini dibiasakan, saya malah jadi sering memengesampingan substansi tulisannya

Saya berdamai, namun tak sepenuhnya. Saya masih amat kesal kesahalan jika melihat kesalahan bahasa itu dilakukan oleh orang atau lembaga yang mestinya melek perihal bahasa. Seperti sekitar hampir setahunan yang lalu ketika Jubir Presiden Joko Widodo, Fajroel Rachman mengunggah twibon dengan tulisan “Saya Siap di Vaksin”.

Sontak saja, naluri saya sebagai “sjw bahasa” alias si hobi nulis muncul kembali. Bagaimana bisa kesalahan seperti ini terjadi di lingkungan istana? Menjengkelkan, pikir saya. Bukan hanya membuat saya gatal pengin membetulkan, namun, efek yang paling menyebalkan ialah ungahan tersebut juga membuat warganet jadi  lebih banyak mengomentari kesalahan ejaan, ketimbang membahas substansi dari twibon yang saat itu diunggah bersamaan dengan rencana program vaksinasi pemerintah. Hess.

Tak hanya berhenti dengan rasa ingin mengoreksi, sebaliknya, semakin meleknya saya dengan bahasa, kadang membuat saya jadi insecure,  kalau-kalau malah gantian saya yang dikoreksi atau malah membuat orang lain sewot juga.

Ya, kejadian itu bermula ketika terjadi diskusi dalam grup sesama penulis. Jadi, dulu pernah terjadi diskusi di grup tersebut, dan tiba-tiba salah satu anggota grup disamber anggota grup lain, untuk mengoreksi kata “dirubah (salah)” menjadi “diubah (benar)”.

Padahal, kejadian itu terjadi saat di grup tersebut sedang diskusi biasa, alias tidak sedang membahas perihal naskah-yang biasanya memang ada sesi diskusi terkait dunia tulis-menulis di grup tersebut-. Selepas kejadian itu saya jadi was-was. Apalagi kalau tiba-tiba muncul ada notifikasi pesan pribadi di WhatsApp dari sesama penulis. Hufft. Saya jadi takut karma; biasanya risih, gantian dirisihin.

Walau, sebenarnya saya nggak keberatan juga, sih, kalau misalnya dikoreksi orang lain. Malah seneng. Hanya saja, ada rasa gimana gitu. Ya, gitu deh.

Lagian, sepenulis-penulisnya saya, saya ini juga masih sering luput perihal ejaan. Sampai sekarang saja kalau naskah saya tayang, tulisan saya masih sering merepotkan editor-editor beberapa media. Heuheu. Maaf merepotkan, ya, Mas/Mbak editor sekalian.  Emoticon tos.

Editor: Ciqa

Gambar: Pexels