Berbicara soal politik, memang benar ketika hidup dan bermukim di negara demokrasi tidak bisa memilih apatis terhadap politik itu sendiri. Sejalan dengan narasi populer dari penyair Jerman yaitu Bertolt Brecht yang menyatakan “Buta Terburuk Adalah Buta Terhadap Politik”. Narasi tersebut dinilai sangat bijak tatkala tujuan melihat politik untuk mengetahui bahwa harga kebutuhan pokok, obat-obatan, tempat tinggal, semuanya akan bergantung pada hasil keputusan politik. Apatis ataupun alergi dengan politik juga menjadi bom waktu ketika seseorang tidak mau memahami akan pentingnya dunia dinamis tersebut. Politik pun menjadi tempat untuk bisa berkomunikasi, menyampaikan aspirasi, hingga memberikan transformasi yang fungsional untuk masa depan negara.

Akan tetapi sudah banyak orang-orang yang sebenarnya memiliki predikat bermartabat, justru terjerumus dan tidak bisa mengontrol politik sebagaimana mestinya. Entah itu mempunyai kepentingan pribadi berlebih atau mungkin juga menyalahgunakan esensi dan tujuan dari politik. Ironisnya itu sudah terjadi dan terlatih semenjak menjalani kehidupan aktivis di akar rumput, di mana seharusnya pada posisi itu memperbanyak aktivitas-aktivitas pemurnian, kegiatan-kegiatan yang mengasah intelektual, dan membantu menyampaikan aspirasi masyarakat. Tapi pada fakta lapangan, terjadi degradasi moral dan proses lunturnya akal sehat hanya karena perihal perut atau “nasi bungkus”. Proyeksi Indonesia Emas 2045 akan turut terganggu dan tergerus dari segi kualitas sumber daya manusia melalui aktivis “nasi bungkus” yang bermunculan ketika menjelang hadirnya kontestasi politik.

Mengenal Aktivis “Nasi Bungkus”

Sebutan ini sangat tepat untuk aktivis-aktivis yang meletakkan nafsu material lebih tinggi daripada nafsu intelektualnya. Terdapat pergeseran makna dalam kata aktivis yang seyogyanya aktif bertukar pikiran dan aktif menyalurkan gagasan, malah sebaliknya aktif mencari pendapatan yang menguntungkan bagi dirinya secara individu. Sehingga. orang lain menilai setiap langkahnya tidak dilandasi oleh kemurnian cara berpikir dan ketulusan, melainkan ada udang di balik batu. Jadi, nasi bungkus adalah simbol bagi aktivis yang memiliki keinginan atau kepentingan tertentu untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan dirinya sendiri.

Wabah Politik Praktis

Politik praktis yang rendahan dan jauh dari nilai-nilai manfaat bukan menjadi hal yang baru di telinga kita karena ini telah menjadi rahasia umum untuk meraih maksud dan tujuan yang rendah pula. Kurangnya membingkai diri dengan nilai-nilai religius dan keutamaan moral menjadi faktor mendasar mengapa gejolak politik praktis selalu mengganggu demokrasi berbangsa dan bernegara. Bahkan tidak perlu terlalu jauh, di kalangan internal saja banyak oknum yang ingin disebut aktivis tapi kelakuannya miris seakan-akan tidak memperhitungkan perjuangan para leluhur bangsa dalam memerdekakan tanah air bermartabat ini. 

Trendingnya gelar aktivis “nasi bungkus” diawali karena adanya kesempatan dalam kesempitan untuk meraih sejumlah keinginan dan kebutuhan primer dirinya. Ditambah lebih memilih untuk membudayakan meraih pendapatan daripada aktif berpendapat. Hal ini yang menjadi penyebaran wabah politik praktis begitu cepat dan banyak diminati oleh penggemar-penggemarnya. 

Jadi, tidak usah terlalu heran menyaksikan penyebaran itu, yang harus dilakukan adalah berhenti untuk ikut-ikutan dan malah memperbanyak kalangan aktivis “nasi bungkus” itu. Karena percayalah ketika sudah terlanjur mengikutinya di masa depan akan memiliki banyak problematika seperti balas budi pada elit, adanya kegelisahan terhadap orang-orang di sekitar, tidak memiliki pendirian yang murni, bahkan sanksi sosial dari masyarakat. Aktivis “nasi bungkus” ini akan selamanya merusak kepercayaan dan pemurnian gerakan dari aktivis-aktivis lainnya.

Pragmatis Merenggut Idealis

Aktivis “nasi bungkus” juga memiliki sifat yang sudah mengkristal dalam dirinya dan sulit untuk diubah, sifat ini dinamakan pragmatis. Sifat yang hadir karena caranya memandang sesuatu tidak luas, disertai kemampuannya untuk mendapat sesuatu harus secara langsung dan instan. “Kalau tidak ada uangnya ya tidak mau”, “Kalau tidak mengenyangkan perut saya berikan pada yang ikhlas beramal saja”, “Kalau tidak ada jabatan strategis bagi saya untuk apa?”, kata orang-orang pragmatis berkedok aktivis yang idealisnya sudah direnggut. Modelan begini tidak akan berumur panjang ketika berhadapan dengan kerasnya dunia pekerjaan. Dirinya akan kesulitan beradaptasi dengan atasan, tidak bisa diajak kolektif untuk berikatan, apalagi untuk menebar kebermanfaatan.

Harus diakui berjuang untuk membentengi idealis di dunia politik lebih sulit daripada saat awal memilikinya. Mengapa? karena sifatnya yang cenderung hitam putih menjadikan ideologi tersebut harus senantiasa diberikan penguatan-penguatan. Dalam upaya penguatannya bisa dengan diskusi ringan, membaca tulisan-tulisan serta menganalisisnya, dan yang paling penting adalah tidak termakan oleh ragamnya informasi-informasi di media. Semakin rutin masuk pada ruang diskusi membuat akal sehat akan selalu terasah untuk berargumentasi dan menilai poin-poin krusial di dalamnya, begitu pun membaca tulisan-tulisan akan memberikan referensi sebelum mengutarakan pendapat pada orang lain, sehingga tidak ugal-ugalan dalam berekspresi. Dibarengi dengan filterisasi segala informasi yang ada di media baik itu media cetak, maupun media sosial akan konsisten terhadap ideologi tanpa menutup mata pada isu-isu yang tersedia.