Liburan menjadi salah satu kegiatan yang cukup saya nikmati, apalagi liburan itu saya sempatkan untuk pulang ke kampung halaman. Saya lebih senang menikmati liburan dengan bersantai di kamar untuk sekadar tiduran, membaca buku, atau menonton film, pokoknya kegiatan-kegiatan minim effort fisik dan jauh dari kesibukan di kampus.

Liburan kala itu sepertinya memang menjadi sebuah berkah bagi saya. Hujan yang begitu saya nanti akhirnya terlihat juga hilalnya. Hujan di kampung halaman benar-benar menjadi sebuah keberkahan tersendiri bagi saya. Bagaimana tidak? Setelah menghadapi panas dan sumpeknya kota Semarang selama berbulan-bulan, akhirnya saya dapat menghirup udara segar di kampung halaman saya, ditambah dengan bumbu hujan yang mungkin tidak akan bisa saya nikmati dengan nyaman ketika berada di Semarang. Dari situ, tercetuslah ide dalam otak saya untuk menikmati hujan ini dengan hujan-hujanan.

Saya cukup menikmati aktifitas hujan-hujanan itu dengan gembira karena sudah lama sekali sejak saya secara sengaja membiarkan ribuan air hujan membasahi sekujur tubuh. Sependek yang saya ingat, kegiatan ini terakhir kali saya lakukan ketika SMP, mungkin. Maka, hujan-hujanan di umur yang menuju 20 ini benar-benar hal yang sangat nostalgic. Banyak hal yang saya lakukan untuk menikmati hujan-hujanan kala itu, seperti berlarian di halaman rumah, loncat-loncatan, membuat “bendungan” di selokan, dan duduk merenung sambil menghadap langit yang sedang mengguyurkan hujannya.

Senang-Senang Berubah Jadi Overthinking

Sialnya saya memutuskan untuk merenung di kala hujan. Kegiatan yang seharusnya menyenangkan itu seketika berubah menjadi ajang muhasabah (jangan bayangkan seperti kegiatan muhasabah pada saat Malam Bimbingan Taqwa di sekolah, ya). Menghitung-hitung kiranya dosa apa saja yang sudah dilakukan sekujur tubuh saya, mengira-ngira kiranya perbuatan baik apa saja yang pernah didambakan jiwa saya, menerka-nerka kenapa orang-orang begitu ngototnya berdebat lebih enak bubur diaduk atau yang tidak diaduk, serta menduga-duga mengapa hanya anak kecil saja yang hujan-hujanan, sangat jarang sekali kita menonton orang yang menginjak usia remaja ke atas hujan-hujanan.

Perenungan terakhir itu nyatanya menyita waktu yang agak lama bagi saya karena memang itulah kenyataannya. Kebanyakan orang yang sudah cukup besar hampir tidak pernah hujan-hujanan, kecuali terpaksa karena kehujanan dalam perjalanan pulang dari sekolah, kampus, kantor, mudik lebaran, dan lain sebagainya. Tidak pernah ada yang secara sukarela hujan-hujanan. Kebanyakan mereka bahkan akan mengeluh ketika hujan secara tiba-tiba menerjang. Lantas, apa yang menyebabkan orang-orang yang cukup besar jadi nggak pernah hujan-hujanan?

Menyadari Mengapa Orang Dewasa Takut Hujan

Melalui perenungan itu, setidaknya saya dapat mengambil sedikit kesimpulannya mengapa. Sederhananya, orang-orang dewasa itu jadi takut dengan kehadiran hujan. Bagi mereka, hujan sama saja dengan mengundang penyakit. Kedatangan penyakit sama saja dengan menghambat pola kehidupan yang sudah mereka bangun dan jaga. Artinya, hujan sama saja dengan petaka. Agak sedikit tidak adil sebenarnya jika mengatakan hujan adalah petaka, tetapi rasanya memang itulah yang terjadi dalam kehidupan orang-orang yang cukup besar yang makin hari kian kompleks dan pragmatis.

Saya menyadari akhir-akhir ini, bahwa orang-orang dewasa menjalani kehidupan dengan sistem yang sangat kompleks. Penyimpangan kecil yang terjadi dalam kehidupan bisa menimbulkan masalah-masalah dengan berbagai tingkatan, salah satunya adalah hujan. Orang-orang dewasa amat sangat menghindari hujan karena dengan kehujanan mereka akan menjadi sakit. Dengan kinerja tubuh yang menurun akibat penyakit, kinerja mereka dalam pekerjaan atau pendidikan juga akan turun. Penyakit itu menjadi pengusik dalam kehidupan orang-orang yang cukup besar.

Sebenarnya Orang Dewasa Bukan Tidak Mau Hujan-Hujanan

Sebagai orang-orang dewasa yang waras, sudah tentu mereka akan menghindari hujan sebagai biang penyakit dalam kehidupan. Hal inilah yang menimbulkan kebanyakan orang-orang dewasa menjadi orang-orang yang pragmatis. Pragmatis singkatnya adalah ketika kita mengambil keputusan berdasarkan kegunaan praktis. Bagi orang-orang dewasa yang pragmatis, mereka tentu tidak akan memilih untuk hujan-hujanan karena itu tidak mendatangkan kegunaan bagi mereka, sebaliknya malahan dapat menghadirkan penyakit yang juga akan menghancurkan pola kehidupan mereka yang kompleks itu.

Pada akhirnya, kita harus mengakui, bahwa kita memang menjadi semakin pragmatis seiring dengan kompleksnya kehidupan yang kita jalani dan bangun dari waktu ke waktu. Sayangnya, pragmatisme cenderung membuat kita jadi sulit untuk menikmati momen-momen yang kita jalani, terutama momen-momen kecil lain di luar kebiasaan dalam kehidupan kita. Lantas, apakah kita harus melepaskan pragmatisme dalam hidup untuk bisa menikmati hidup? Saya rasa tidak juga, yang diperlukan menurut saya justru merangkul pragmatisme itu dan memberikan porsi yang seimbang dalam hidup, agar orientasi hidup kita tidak melulu soal apa yang didapat dari melakukan sesuatu, tetapi juga untuk menikmati hidup itu sendiri.

Editor: Pratama

Gambar: Freepik