Kata beberapa orang, cinta itu bukan cuma tentang sebuah rasa. Katanya cinta itu dinamis. Terus bergerak hingga membuahkan sesuatu yang manis dan mendamaikan bagi yang merasakannya.

Jujur, bahkan sampai sekarang saya masih belum paham definisi cinta. Belum ada formula cinta yang pas yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya tentang cinta.“Cinta hadir bukan untuk dipertanyakan, tetapi dirasakan. Sebab pertanyaan demi pertanyaan tentang cinta hanya akan membawa kita pada pencarian tak berujung,” kata seseorang, entah siapa saya lupa dan tak berniat mengingatnya, atau mungkin, itu malah kalimat yang tak sengaja saya rangkai sendiri saat terjaga di tengah malam.

Cinta, mungkin pernah membuat kita gila. Tertawa sendiri dalam lamunan, menangis terisak di pojokan, hingga melakukan hal-hal tak wajar. Cinta, mungkin pernah membuat kita buta. Mengabaikan saran dari sekitar, bahkan rela menghajar orang yang selalu berbicara buruk soal cintamu. Cinta mungkin membuat kita lupa daratan. Dibuat mabuk kepayang, dibumbui dengan rupa rasa seksual. Ah, ada banyak. Mana yang benar? Saya tidak tahu.

Dalam beberapa jawaban, saya pernah menuliskan prinsip hidup saya yang “mengalir seperti air”, termasuk dalam urusan cinta. Mengira-kira perasaan yang sedang disemai itu termasuk cinta atau bukan, namun di lain sisi justru malah membuat diri kita lupa untuk menghayati perasaan itu sendiri. Bertanya-tanya cinta seharusnya begini atau begitu, malah membuat kita makin kehilangan identitas diri. 

Kita perlu memahami konsep cinta sebagai sebuah proses dinamis, yang tak selalu harus memiliki jawaban atau kepastian. Mengenali, bahwa cinta bisa tumbuh, berubah, atau bahkan mereda, adalah langkah bijak untuk tetap seimbang dalam hubungan.

Dengan meluangkan waktu untuk menikmati perjalanan tanpa harus terlalu keras memaksa diri untuk mengerti akan membuat kita menemukan definisi cinta versi kita masing-masing. Karena cinta bukan soal pertanyaan dan jawaban, melainkan tentang pengalaman yang mendalam.

Bagaimana caranya agar kita tidak berlarut-larut dalam cinta sepihak?

Jika berbicara soal “cinta sepihak”, saya rasa memang cinta ditakdirkan demikian adanya. Bagi yang theis, cinta kita kepada Tuhan juga seringkali terjadi sepihak. Manusia menyembah, memuja, ada juga yang disertai ritual dan sajian; tetapi tidak semua manusia mendapat balasan cinta-Nya (yang manis-manis), tho? Ada yang masih diuji, ditimpa musibah, diminta bersabar meski sudah begitu bucin kepada-Nya.

Cinta kepada orang tua juga belum tentu terbalaskan. Ada anak yang begitu mencintai, meski perlakuan orang tuanya selalu buruk. Ada anak yang begitu menghormati, meski perkataan orang tuanya sering kali menyakiti hati.

Cinta sepihak, menurut saya memang ada, tetapi itu bukan bentuk ketidakadilan, kenestapaan, ke-ngenes-an, atau label-label negatif lainnya. Jika ada orang yang baru menyadari bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan dan (merasa) hatinya telah diremukkan, itu bukan mencintai namanya, tetapi berharap dicintai. Dia menjadikan dirinya sebagai objek cinta, bukan subjek.

Jangan cuma mikir soal dapat atau nggak dapat balasan. Cinta sepihak juga bisa jadi pelajaran tentang keberanian mencintai tanpa syarat. Jadi, daripada ngarepin balasan setimpal, mending nikmati perjalanan cinta yang nggak terduga ini. 

Ya, memang terkadang cinta itu rumit. Tapi daripada bingung terus-terusan, mending santaiin aja. Biar cinta nggak jadi beban, tapi justru jadi bagian seru dalam hidup yang penuh warna. Ambil hikmah dari setiap cerita yang nggak sesuai rencana, karena hidup itu nggak selalu lurus. Enjoy the ride! Hidup ini terlalu singkat buat disuruh bingung sama cinta sepihak.

Editor: Yud

Gambar: Pexels