Setiap orang tentu pernah mengalami yang namanya malu, merasa bersalah, maupun terpojokkan. Pada dasarnya, keadaan tersebut merupakan respon alamiah sebagai manusia, entah itu terjadi atas faktor internal diri sendiri maupun eksternal. Biasanya, ketika seseorang melakukan kesalahan, baik yang merugikan secara personal maupun kelompok, rasa malu itu akan muncul dan menghantui. Dalam banyak kasus, rasa malu dapat mengganggu dan membatasi aktivitas, menjadi racun dan merugikan. 

Peristiwa Wrong Way Riegels

Senada dengan realitas di atas, ada satu kisah menarik yang menimpa seorang pemain American Football handal bernama Roy Riegels, yang melakukan kesalahan saat sedang bermain di Rose Bowl pada tahun 1929. Saat sedang bermain, ia melakukan kesalahan dengan memutar balik menyerang dengan arah yang berlawanan, sehingga membahayakan kandangnya. 

Setelah babak pertama selesai, Riegels duduk di pojokan dan menangis. Sebagai salah satu pemain terbaik kala itu, ia merasa amat sangat malu dan terpukul terhadap apa yang telah diperbuatnya. Ketika babak kedua akan dimulai, semua pemain bergegas menuju ke lapangan, kecuali Roy Riegels. Ia merasa telah mengecewakan semua orang, dan merasa mendapatkan beban yang sangat berat. 

Melihat keadaan Roy, pelatih berkata kepadanya “Roy, get up, and go back! The game is only half over”, yang artinya “Roy, bangun dan kembali ke sana! Permainan baru setengah selesai”. Akhirnya dia kembali ke lapangan dengan luar biasa dan semangat, dan sempat mengungguli tech’s All-American Center, dan pada musim berikutnya terpilih sebagai kapten tim california. 

Atas peristiwa tersebut, Roy Riegels sering dijuluki Wrong Way. Kejadian memalukan yang telah terjadi tidak lantas membuat Riegels berlarut-larut merasa terhina dan terpojokkan. Justru setelah pertandingan selesai, di tahun-tahun berikutnya ia semakin terangkat namanya di dunia American Football. Riegels juga pernah menjadi pelatih American Football di California untuk sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, hingga ia mendapatkan Cal Hall of Fame, yang berarti penghargaan kepada pemain atas prestasi dan dedikasinya. 

Membuka Tirai Kekeliruan sebagai Pembelajaran

Setiap kesalahan yang menimpa diri seseorang, meskipun akan timbul perasaan bersalah, malu atau bahkan terpojokkan, anggaplah sebagai hal yang wajar. Karena pada akhirnya, atas kesalahan tersebut akan muncul mekanisme adaptif yang akan mendorong seseorang untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Inilah respon yang dihadapi oleh Riegels, meskipun banyak orang yang menjulukinya Wrong Way, pada akhirnya Riegels bisa berdamai dan menganggapnya sebagai lelucon saja. 

Yang harus dipahami adalah, bahwa setiap orang bisa saja kehilangan arah, tanpa pandang bulu siapa dia. Meskipun Riegels adalah pemain handal, potensi dalam membuat kekeliruan tentu tidak bisa dihindari. Anda mungkin pernah melihat seorang pesulap, bisa dibayangkan betapa malunya ketika atraksi yang ditunjukkan ternyata gagal. Atau seseorang yang sedang lomba pidato, betapa sedihnya ketika tiba-tiba ia lupa teks pidato tersebut. 

Adakalanya kita mentoleransi kesalahan. Namun yang paling penting, kita harus  bisa belajar dari kesalahan yang telah diperbuat. Jika meninjau pada organizational learning, belajar dari kesalahan merupakan komponen penting dalam proses pembelajaran. Tugas kita hanyalah bagaimana menemukan cara untuk mempelajari sesuatu dari setiap kesalahan. 

Itulah Roy Riegels, orang besar yang tidak gengsi meskipun pernah membuat sejarah memalukan dalam pertandingan American Football. Namun dalam pengakuannya terhadap apa yang telah diperbuat, tentu butuh kerendahan hati untuk bisa berdamai dengan apa yang terjadi. 

Mengakui terhadap kesalahan, berikut menurut Catherine Pulsifer terhadap pandangannya ketika seseorang melakukan kesalahan, “Kita semua membuatnya, perbedaannya adalah apa yang kita lakukan setelah kita membuat kesalahan, bagaimana kita melihat kesalahan – pengalaman belajar atau kegagalan.” 

Gambar: Google

Editor: Bunga