Bagi anak-anak yang tinggal di desa, pasti sudah tidak asing dengan unen-unen atau falsafah hidup dari para sesepuh. Terutama di Jawa yang kental dengan ajaran perilaku tata kramanya, orang tua seringkali memberikan nasihat tutur (dari mulut ke mulut). Namun, seiring dengan perkembangan zaman rasanya tradisi itu sudah mulai mengelupas. Padahal, tradisi yang demikian memiliki posisi strategis sebagai penopang kelestarian sosial budaya. Anak muda sebagai generasi penerus perlu membumikan falsafah hidup terdahulu itu.

Agar nilai budaya tidak luntur, kiranya perlu dilakukan gerakan masif dan pengamalan yang orisinal oleh muda-mudi. Nilai-nilai itu juga memengaruhi kepribadian. Hal ini bila ditanamkan sejak kecil akan membentuk kesadaran bagaimana bersikap terhadap sekitar. Seperti falsafah Jawa yang khas dengan tindak-tanduk kesopanan, ini membuat suatu sistem lingkungan yang tidak antipati terhadap sesama.

Tidak dipungkiri, tradisi unen-unen atau nasihat ini sarat dengan kejawa-jawaan. Memang, masyarakat Jawa memiliki falsafah yang sedari dulu diangkat dari akar budayanya. Salah satunya nasihat tutur yang telah turun temurun diwariskan pada anak cucu. Saya yang keturunan Jawa pun tentu sering mendengar petuah-petuah itu. Namun, saya tidak menyangkal juga bahwa masih banyak yang tidak saya ketahui. Untuk pemanasan saja, setidaknya ada 5 falsafah hidup dasar yang anak muda (saya juga) perlu untuk mengetahuinya. Yuk, cek!

Kowe ra bisa mlayu, saka kesalahan, ajining diri ana ing lathi

Lirik lagu Lathi yang dinyanyikan Mbak Sara itu sarat akan peringatan kejawen (Jawa). Peringatan atau nasihat itu adalah ajining diri gumantung aning lathi, ajining raga gumantung aning busana. Artinya, kehormatan diri tergantung pada apa yang diucapkan lidah; kehormatan tubuh tergantung pada busana (pakaian).

Benar bahwa penghormatan kepada diri seseorang dilihat dari baiknya lisan. Orang dengan tutur kata yang baik otomatis akan mendapat penghormatan yang baik pula dari orang lain. Penghormatan kepada tubuh (raga) dilihat dari busana. Konteks ini tentu tidak bertentangan dengan prinsip jangan menilai orang dari luaran. Justru, ini memberi sudut pandang taktis bahwa penampilan awal (dari segi pakaian) menentukan posisi dirinya di masyarakat. Agak semu memang, tetapi nyatanya seseorang tetap dinilai dari pakaiannya. Maka boleh dikatakan, pakaian berperan sebagai identitas dan parameter sosial.

Ada pengalaman menarik ketika saya memakai baju batik dengan bawahan hitam. Saat itu juga saya sedang bepergian dengan Ibu yang bertemu dengan temannya. Teman Ibu saya itu langsung mengira saya adalah guru. Saat ditanya, “Sekarang ngajar di mana, Dik?” aku kaget. Sejak itu, aku memahami otoritas pakaian begitu mendominasi kadar sosial seseorang. Sementara ajining diri yang bergantung pada lathi, artinya setiap perkataan memengaruhi penilaian orang lain. Mungkin boleh dikatakan juga kalau falsafah ini mengarah pada eksistensialisme yang memperhatikan citra diri.

Becik ketitik ala ketara

Kalau yang satu ini pasti sering terdengar, kan? Apa belum, hayo? Ini bermakna kebajikan akan terlihat; kejelekan akan terungkap. Becik atau kebajikan diikuti penjelas ketitik sementara ala atau kejelekan diikuti penjelas ketara. Ada sebuah perbandingan yang kontras. Kebajikan diungkapkan dengan ketitik, sebuah bias yang lebih kecil dari ketara. Ala sendiri langsung dijuruskan kepada ketara yang mau bagaimana pun kejelekan itu, besar atau kecil, kejelakan akan selalu tampak apalagi di mata orang lain.

Kalau peribahasa Indonesia: gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak, falsafah Jawa ini juga selaras demikian. Kesalahan orang lain justru yang akan mudah terlihat. Dengan tidak berputus asa, saya rasa sulit untuk menghentikannya. Ini disebabkan oleh kultur lokal yang ikut memengaruhi. Namun, falsafah ini sesungguhnya memberikan peringatan kehati-hatian dalam bertutur dan bertindak. Jangan sampai apa yang diperbuat memberi nilai negatif terhadap diri.

Aja rumangsa bisa, bisaa rumangsa

Saya pertama kali mendengar falsafah ini dari guru di sekolah menengah kelas akhir. Bagi saya, saya agak telat mengetahuinya. Padahal, nasihat itu penting untuk memandang persoalan. Arti nasihat itu adalah jangan merasa bisa, bisalah untuk merasa. Seseorang yang sedang belajar janganlah merasa sudah bisa. Asas yang dijunjung ialah kepekaan haus akan ilmu sehingga tidak menjadikan diri sombong. Ini juga bermanfaat untuk menghilangkan rasa malas karena perasaan sadar yang masih butuh banyak ilmu.

Desa mawa cara, negara mawa tata

Setiap tempat yang kita kunjungi pasti memiliki adat istiadat yang berbeda. Ada beberapa norma yang harus ditaati sehingga unen-unen ini bisa diartikan di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Beberapa yang khas saat kita berkunjung ke daerah yang belum pernah kita datangi sebelumnya adalah tradisi masyarakat adat yang menakjubkan. Masyarakat juga pasti memiliki kepercayaan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan karena nilai-nilai itu terbentuk dari budaya yang sejak dulu ada.

Kebat kliwat, gancang pincang

Kalau yang satu ini berarti: melakukan suatu hal dengan tergesa-gesa pasti hasilnya tidak maksimal. Sebaiknya jangan tergesa-gesa bila bertindak. Perlu dipikirkan dengan matang apa yang akan dilakukan agar didapat hasil akhir maksimal.

Nah, itu tadi 5 falsafah Jawa yang anak muda perlu tahu. Masih banyak falsafah lain yang perlu digali. Ada unen-unen tentang pantangan yang biasanya dihubungkan dengan kemistikan. Ada juga unen-unen jenaka yang tujuannya menghibur sekaligus memberi petuah. Unen-unen mana yang kamu sudah tahu?

Editor: Ciqa

Gambar: google.com