Apa sih pentingnya arsip koran?

Mengunjungi badan kearsipan adalah pekerjaan paling membosankan, bagi saya maupun sebagian mahasiswa Ilmu Sejarah semester akhir lainnya. Bagaimana tidak, setiap kami pergi mengunjungi kearsipan, duduk berjam-jam memilah arsip satu per satu, belum tentu juga mendapat hasil (data) yang kami inginkan.

Padahal, setiap perjalanan kami menunju kantor kearsipan, ada harapan besar yang kami gantungkan. Berharap dalam waktu singkat, akan menemukan segepok data yang fungsional. Bahkan jika itu dalam waktu yang relatif lama pun tak apa-apa. Yang penting data itu bisa  membantu kelancaran proses penelitian.

Bagi kami, mahasiswa Ilmu Sejarah, arsip koran itu lumayan penting. Hal ini sama pentingnya dengan data dari jenis penelitian ilmu apa pun. Dalam Ilmu Sejarah, koran sezaman (artinya koran yang memberitakan peristiwa aktual, dan sesuai dengan temporal penelitian yang diambil peneliti) adalah sumber primer yang dulu pernah wajib digunakan. Tapi dalam perkembangannya, Ilmu Sejarah telah mengalami proses demokratisasi karena kritik bahwa sumber tertulis (koran dan data admintrasi) hanya berpusat pada peristiwa besar dan hal yang berhubungan dengan kekuasaan. Sehingga saat ini banyak tulisan sejarah yang ramah dengan orang-orang kecil—yang terpinggirkan dari dokumen.

Meskipun begitu, tentu masih saja ada sebagian sejarawan yang memuja sumber tertulis, dengan alasan bahwa sumber tertulis bersifat netral dan tidak mengalami pendistorsian dari waktu ke waktu. Selain itu juga ada doktrin lama, No Dokument No History. Tentu saja nggak ada yang salah dengan hal ini, segala bentuk sumber tetap sah digunakan, selama sumber itu telah melalui proses kritik sumber (salah satu tahap metode sejarah) yang ketat. Baik itu sumber tertulis maupun bentuk lain (lisan atau visual), tetap mendapat tempatnya masing-masing. Hal ini yang menjadi alasan saya tetap berusaha keras mengumpulkan arsip koran.

Dalam proses pengumpulan arsip itu, saya menemui pengalaman ironis. Salah satu badan kearsipan yang saya kunjungi, tidak menyimpan arsip koran. Padahal, badan kearsipan tersebut telah berlangganan empat jenis koran sejak lama banget. Bukan disimpan, untuk pengarsipan, justru malah tiap terkumpul banyak, dijual kiloan. Meskipun mungkin ini bukan tupoksi mereka untuk mengelola arsip koran.

Namun, sangat tidak etis sebuah lembaga kearsipan menjual hal yang seharusnya bisa menjadi aset untuk masa depan, yaitu arsip koran. Inilah mengapa kita harus mengerti pentingnya arsip koran.

Saya akan menceritakan pengalaman saya mencari arsip untuk penelitian, dari dua badan kearsipan di Semarang, dan di Demak.

Dari berbagai tempat kearsipan di Semarang, hampir semua sudah saya kunjungi. Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah yang berlokasi di Jalan Srondol dan Sriwijaya, juga tidak lepas dari proses pencarian saya. Di sana, yang begitu banyak menyimpan arsip koran dari berbagai jenis surat kabar periode yang sangat lama sampai periode kekinian, ternyata hanya sedikit data yang bisa saya temukan untuk penelitian saya. Tentu saja ini karena saya harus memilahnya satu per satu koran yang sebanyak itu. Padahal, ini pun sudah dibantu oleh teman baik saya, sebut saja Emi Rahmawati.

Selain Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah, saya juga mengunjungi pusat dokumentasi arsip Suara Merdeka, Semarang. Lokasinya di Jalan Merak, dekat sekali dengan Kota Lama, Semarang. Di sana, dengan lengkap dan rapi menyimpan arsip koran Suara Merdeka sejak terbit pertama tahun 1950an sampai yang terbaru. Sebagain koran juga sudah didigitaliasi untuk memudahkan proses pencarian. Tapi ya gitu, hampir sama saja, di sana juga saya hanya mendapat sedikit data karena sebagian besar masih harus memilahnya satu per satu meskipun yang sudah didigitaliasi. Justru malah ini bikin perih mata saya, mending koran biasa.

Berhubung masih sedikitnya data yang saya miliki, saya akhirnya memutuskan untuk mengunjungi juga kearsipan di daerah saya, Demak. Dengan semangat seadanya, meskipun besar juga harapan saya, sekitar pukul setengah sebelas saya sampai di lokasi, Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Demak. Di sana saya masih harus menunggu karena petugasnya masih rapat dengan atasan. Sembari menunggu, saya memanfaatkannya dengan mengunjungi perpustakaannya dulu. Meskipun sempit, tempatnya lumayan nyaman. Jika nggak ada keperluan, mungkin saya akan ketiduran.

Begitu rapat selesai, tanpa terburu-buru saya menemui petugasnya. Pertanyaan pertama yang saya tanyakan—setelah basa-basi memperkenalkan diri—adalah di mana tempat penyimpanan arsip korannya? Karena sependek pencarian saya, tidak ada tanda-tanda tempat penyimpanannya.

“Kami sudah tidak menyimpan arsip koran lagi, Mas. Sudah lama og itu tempat penyimpanannya bocor, jadi arsip korannya kena air hujan, akhirnya kami kilokan (dijual per kilo). Semenjak itu, meskipun kami masih berlangganan empat koran (Jawa Pos, Tempo, Kompas, dan Suara Merdeka) sampai saat ini, tiap koran itu sudah terkumpul banyak, ya, kami kilokan,” kira-kira begitu jawaban petugasnya.

Lalu saya menjelaskan betapa pentingnya arsip koran itu, terutama bagi saya sendiri. Sebagai salah satu kekayaan negara, arsip harusnya betul-betul dijaga ketersediaanya, karena arsip koran adalah produk intelektual. Ini kalimat yang pernah saya dengar dari perkuliahan dosen kearsipan saya. Tapi ini tidak saya sampaikan ke petugas kearsipan, karena sudah pasti beliau lebih fasih soal itu. Meski bisa saja tidak.

“Iya, Mas, saya juga tahu itu. Tapi kami tidak memilki dana untuk itu. Dari atasan tidak memberi anggaran untuk pengarsipan koran. Kita memang tahu betul pentingnya pengarsipan, tapi yang di atas sana (pemerintah kabupaten) itu belum tentu. Makanya Kita (perpustakaan dan kearsipan) itu masih menjadi nomor pertama dari belakang di urutan skala prioritas agenda pemerintah. Seolah-olah kita itu nggak begitu penting.” Jawab petugas atas penjelasan saya.

Jawaban petugas itu menjadi akhir obrolan kami. Koran, sebagai bahan dokumenter yang sangat berharga dan sudah digunakan sejak abad 19 itu, tetap nggak bisa saya akses. Pentingnya arsip koran bagi Ilmu Sejarah maupun perkembangan ilmu lainnya masih belum begitu dipahami. Sehingga aset negara yang katanya sangat berharga ini dijual kiloan seperti tumpukan kertas bekas yang nggak berguna lagi. Nasibnya adalah berakhir di pemilik angkringan, menjadi pembungkus nasi kucing dan gorengan. Sungguh mengenaskan kita punya kearsipan.

Editor : Hiz

Foto : Pexels