Sebagai manusia yang hidup di pelataran heterogen, so pasti kita nggak lepas dengan yang namanya dibenci oleh manusia lainnya. Mulai dari perbedaan perspektif, sampai pada perbedaan keyakinan pun kadangkala hal itu dapat menuai kebencian.
Apalagi kalau mengingat perkataan salah satu filsuf, Thomas Hobbes yang pernah mengatakan bahwa manusia itu homo homini lupus, atau dalam pengertian umumnya, manusia itu kodratnya saling berkompetitif satu sama dengan yang lainnya, manusia itu serigala bagi sesamanya.
Oleh kearenanya, sikap kompetitif pada manusia selalu punya intrinsik saling mengalahkan, dan tentu itu nggak lepas dari sikap membenci.
Hidup penuh Kompetitif
Tak ayal memang, kalau melihat di berbagai situasi sosial seperti di politik, bisnis, pekerjaan, ataupun skala paling kecil yaitu pertemanan, semua itu kadang masih lekat dengan yang namanya kompetitif.
Ya, meskipun perihal kompetitif ini nggak selalu penuh dengan kebencian, tapi at least kita semua pasti pernah, ketika merasa tersaingi, psikologi dalam pikiran kita mengatakan “aku nggak suka dia menyaingi aku, aku harus menyingkirkan dia, aku harus lebih unggul daripada dia “.
Sikap kompetitif semacam itu menurut hemat saya, secara tersirat mengandung rasa benci terhadap seseorang.
Tetapi, apakah kita sebenarnya nyaman dengan sikap membenci? Apakah nyaman dengan kompetitif yang tak sehat? Bukankah kita sebenarnya saling menginginkan perdamaian dan saling suka?
Pikiran Pragmatis
Menurut hemat saya, manusia itu sebenarnya nggak nyaman dengan kompetitif yang tak sehat. Kita ini sebenarnya saling menginginkan perdamaian, hanya saja yang menjadi problem itu kita nggak tahu bagaimana caranya bersikap agar nggak merasa tersaingi, nggak merasa lebih unggul sendiri.
Karena ketidaktahuan itulah yang akhirnya pikiran itu memanipulasi egoisitas kita menuju sikap pembenci, merasa tersaingi, dan menginginkan kompetisi yang tak sehat. Itu yang kalau dalam istilah akademis disebut pikiran pragmatis. Heuheu… si paling akademis.
Saya sangat yakin di antara pembaca artikel ini, semuanya pasti membenci sikap “pembenci”, bahkan kalau ada yang membenci kita pun rasanya nggak enak banget.
Ingin rasanya berkata “kamu ngapain sih benci sama aku”, iya, nggak? Ya iyalah, karena kita memang seyogianya nggak mau disenggol, nggak mau kalau orang lain berupaya mendestruksi diri kita.
Yang kita mau itu sama-sama bertumbuh, hidup dalam perdamaian. Tapi, biasanya orang-orang yang pragmatis, menyikapi hal itu dengan bersikap seperti apa yang orang lain lakukan, dan yang terjadi, yah saling membenci.
Lantas, mengapa hal semacam itu bisa terjadi? Bagaimana mengubah seseorang yang benci menjadi suka sama kita?
Disonansi Kognitif
Seseorang mempunyai rasa benci sebenarnya bisa diungkap dalam salah satu teori psikologi sosial, yang disebut sebagai “disonansi kognitif”.
Teori ini ditemukan oleh seorang psikolog Amerika bernama Leon Festinger pada tahun 1950 an. Bunyi sederhana dari teori disonansi kognitif kira-kira begini, “ketika pemikiran dan keyakinan itu tidak selaras dengan perilaku seseorang, maka akan menyebabkan ketidaknyamanan terhadap perasaan”.
Ketika ada orang yang benci sama kita, so pasti itu mulanya berangkat pada yang namanya prejudice (prasangka).
Prasangka yang liar, yang belum terbukti secara empiris dan kritis, itu lantas membangun pemikiran dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu.
Misalnya, ada orang yang baru berteman dengan saya, dan kebetulan kita ini sama-sama mempunyai hobi menulis artikel, sikap saya ke dia, dan sikap dia ke saya cukup baik.
Tetapi, di suatu saat, saya menulis artikel yang isinya membantah artikel dia sebelumnya, di sini prejudice bekerja.
Katakanlah prasangka dia yang terbentuk adalah prasangka buruk: Oh, orang yang aku anggap teman ternyata sedang memusuhi ku, sedang menyaingi ku.
Inilah yang disebut disonansi kognitif, ketika pemikiran dan keyakinan tidak selaras dengan perilaku seseorang, menyebabkan perasaan tidak nyaman. Kalau dalam agama mungkin itu disebut “su’udzon”.
Tapi kok bisa perasaan nggak nyaman itu mendorong seseorang untuk membenci?
Teori disonansi kognitif mempunyai beberapa asumsi dasar atas hal itu, salah satunya bahwa manusia mempunyai sifat dasar yaitu selalu ingin berada pada stabilitas dan konsistensi.
Jadi, jika merujuk pada contoh di atas, rasa benci yang dia punyai itu karena keinginannya untuk menyelaraskan, mengkonsistensikan prasangka “bersaing” dengan sebuah perilakunya terhadap prasangka itu sendiri, dan perilaku yang selaras dengan “bersaing” adalah membenci.
Benjamin Franklin Effect
Lantas, bagaimana menyulap seseorang yang benci itu menjadi suka?
Sebenarnya teori disonansi kognitif ini lebih masyhur di kalangan wacana psikologi dengan sebutan “Benjamin Franklin effect”.
Kala itu teori tersebut dipakai oleh salah satu tokoh politik Amerika Serikat bernama Benjamin Franklin untuk mempersuasi lawan politknya.
Singkat cerita, si Franklin ini mengambil sikap yang berlawanan terhadap musuh politiknya dengan cara meminjam buku.
Musuh politik Franklin terheran, sebab mengapa Franklin yang terkenal pintar dan menjadi musuh politik, lantas meminta tolong untuk meminjam buku. Dari kejadian itu akhirnya musuh Franklin lambat-laun menjadi teman baiknya.
Kejadian Franklin bisa kita lihat korelasinya dengan teori disonansi kognitif yang sudah saya jelaskan di atas tadi, bahwa manusia itu selalu ingin menstabilkan dan mengkonsistensikan antara perasaan dan perilakunya.
Seperti halnya contoh di atas, musuh Franklin akhirnya nggak nyaman dengan perasaan ‘bencinya’ terhadap Franklin, walhasil ia mengubah perilakunya agar selaras dengan perasaan baik yang diterima akibat perilaku Franklin. Inilah dampak nyata Benjamin Franklin effect.
Teori psikologi ini mungkin juga senada tapi berbeda bentuk dengan perintah agama Islam yang selalu menuntun manusia agar berkhusnudzon terhadap apapun yang sedang dihadapi.
Di satu sisi agar hati kita tenang, pun di sisi yang lain bisa menghasilkan vibrasi positif agar menarik orang-orang disekitar yang mungkin sedang membenci kita.
Hanya saja perbedaan antara disnonansi kognitif dengan khusnudzon, terletak pada sifatnya: Disonansi kognitif itu sikap eksternal, dan khusnudzon ialah sikap internal.
Namun teori ini juga nggak selalu berhasil, sebab pikiran orang lain tentu karakteristiknya di luar kendali kita.
Adapun yang karakter pikirannya kolot, sehingga kendati sudah menerima perilaku baik, ia tetap teguh dengan perasaannya pembencinya.
Tapi juga nggak ada salahnya kita menggunakan teori ini untuk mempengaruhi orang yang sedang membenci kita.
Toh, jikalau belum berhasil, setidaknya kita mendapatkan vibrasi positif atas diri kita sendiri supaya nggak jadi pribadi yang kolot dan suka membenci.
Editor: Lail
Gambar: Pexels
Comments