Saya berteman dekat dengan banyak teman perempuan, dan di balik itu semua kami juga saling berkompetisi.

Sewaktu di masa-masa sekolah dulu -yang mana merupakan sekolah homogen, nggak usah ditanya dong bagaimana eratnya hubungan kami satu sama lain. Di suatu kesempatan, kami saling memuji di depan. Saling memberikan semangat, kekuatan, dan dukungan. Namun di belakang, ternyata diam-diam kami saling bersaing satu sama lain. Berusaha menjadi yang terbaik di antara kami. Iya, hanya di antara kami.

 

Ambisi dan Persaingan

Sebetulnya, masalah persaingan itu tidak selalu berdampak buruk dan tidak ada masalah. Jika memang, pertemanan kita diam-diam saling bersaing ke arah yang positif. Misalnya saling bersaing untuk juara kelas, bersaing untuk dipilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba, dan semacamnya. Toh persaingan seperti itu, juga memacu diri kita untuk menjadi lebih baik, kan?

Eh, tapi apa nggak capek kalau hidup yang dimulai dengan persaingan ini, terus menerus diisi untuk saling berkompetisi? Bukankah akan lebih nyaman rasanya jika kita memilih untuk saling berkolaborasi? Iya nggak, sih? *ngomong sama diri sendiri.

Yang menarik adalah, perasaan persaingan seperti ini tidak saya rasakan terhadap teman lelaki saya. Keberadaan teman lelaki tersebut, benar-benar saya anggap sebagai pendukung. Saya sama sekali tidak merasa dia–teman lelaki saya–sebagai ancaman. Berbeda dengan teman perempuan saya, yang justru saya anggap sebagai saingan.

Padahal, saya dan mereka–teman perempuan saya–tidak ada masalah apa-apa. Kami baik-baik saja. Tetap bisa bercerita banyak hal. Sayangnya, perasaan untuk tidak mau kalah dengan mereka sepertinya sulit dihapuskan begitu saja.

Bukankah menganggap teman dekat sendiri sebagai saingan adalah hal yang cukup aneh terutama di saat perempuan seharusnya saling mendukung satu sama lain?

Tetapi, mungkin ini bisa jadi hal yang biasa saja terjadi. Lihat saja kasus Tara Basro yang kemarin mengunggah foto tubuhnya sebagai bentuk self-love yang ia rasakan. Ia sengaja menunjukkan beberapa hal yang dianggap “memalukan” oleh banyak perempuan merupakan hal-hal yang patut disyukuri.

Namun yang ada, ia justru mendapatkan ejekan oleh perempuan lainnya. Banyak perempuan yang menganggap self love tidak perlu disuarakan sebegitunya. Lebih parah lagi, banyak yang membandingkan reaksi orang-orang apabila modelnya hanyalah masyarakat biasa bukan artis cantik, Tara Basro tentunya cuma menyisakan kasus pornografi dan ejekan dari sesama perempuan.

Ini betul-betul aneh, kan? Ketika sesama perempuan seharusnya saling menguatkan satu sama lain, yang jamak terjadi justru saling menjatuhkan. Apakah hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah persaingan terselubung?

Perihal perselingkuhan juga. Jika ada suami yang telah beristri kemudian selingkuh, yang sering terjadi adalah kemarahan sang istri lebih besar ke selingkuhannya. Bukan ke suaminya sendiri. Tidak mengherankan, jika rasa-rasanya sebutan pelakor (perebut laki orang) lebih sering terdengar dibandingkan pebinor (perebut bini orang).

 

Aneka Ragam Persaingan

Ya, masalah persaingan ini bentuknya memang beraneka ragam, dari diam-diam merasa tersaingi kemudian ngomongin di belakang, saling memusuhi atau menghina di media sosial, sampai mengajak teman se-geng memusuhi dia bahkan melabrak.

Mengapa? Menurut analisis sok tau saya, hal ini dikarenakan perempuan lebih sensitif serta memiliki kebutuhan akan perhatian yang lebih besar dibandingkan lelaki. Lantas, keinginan untuk menjadi pusat perhatian juga menjadi lebih besar.

Untuk mendapatkan perhatian yang lebih banyak tersebut, tidak mengherankan jika kemudian kita sebagai perempuan merasa bahwa saingan-saingan kita tersebut setidaknya dimulai dari makhluk yang diciptakan serupa. Yang adalah perempuan lainnya. Maka perasaan merasa terancam dan tidak aman itu justru didapatkan dari para perempuan juga.

Tanpa disadari kita sesama perempuan saling bersaing, bisa dengan mempromosikan diri kita sendiri untuk telihat lebih menarik ataupun dengan menghina dan menjatuhkan perempuan lainnya supaya kita terlihat lebih baik.

Rasanya ironis sekali, mengingat bagaimana perempuan bahkan di era yang modern begini saja masih harus melawan patriarki dan seksisme dan harus ditambah dengan rasa persaingan yang bisa berubah kapanpun menjadi rasa permusuhan dari sesama kaum perempuan itu sendiri.

Semoga kasus Tara Basro kemarin tidak lagi dialami perempuan mana pun, Selamat Hari Perempuan!

 

Penulis: Nadhifah Azhar

Ilustrator: Ni’mal Maula