Hari Senin yang lalu, mungkin beberapa dari kalian ikut deg-degan menunggu daftar siapa saja pemenang dari perhelatan apresiasi perfilman dunia yang super bergengsi yakni Academy Awards atau lebih dikenal dengan Oscar. Persaingan yang begitu ketat terasa bagi saya pada awal dimulainya satu tahun kemarin. Kita disuguhi oleh berbagai jenis film yang kita pernah dengar hingga tidak pernah dengar namanya. Bagi saya, seorang mahasiswa yang berada di jurusan yang bergerak di industri ini, penghargaan setinggi Oscar bukan hanya sekadar siapa yang dinominasikan atau siapa yang menang. Lebih dari itu.

Pastinya kita semua mengamati, bagaimana demam Parasite merajahi seluruh media social hingga mengantarkannya keluar menjadi pemenang. Mutlak pemenang Oscar tahun ini. Sebagai orang Asia, rasa keterikatan satu bangsa membuat saya hampir menitikkan air mata. Bagaimana tidak, kita perlu menunggu waktu 90 tahun untuk mengukuhkan nama Asia terutama di film terbaik.

Tentunya, prestasi ini ini bukan semata kerjaan Bandung Bondowoso yang secara instan dapat tercapai hingga titik ini. Tahun 1997, Pemerintah Korea Selatan secara terang-terangan menggelontorkan ratusan milyar uang negara demi mempromosikan budaya bangsa. Titik balik ketika Gangnam Style benar-benar menjadi demam bagi seluruh warga dunia. Dampaknya, wisata ke negeri gingseng tersebut melonjak drastis. Kelas-kelas bahasa Korea yang hanya beberapa orang (tentunya pernah saya rasakan) sekarang tumpah-tumpah muridnya.

Tidak hanya musik, sinema-sinema Korea juga didukung penuh oleh pemerintah. Dua film ber-isu sensitif yang setidaknya saya tahu yaitu A Taxi Driver dan 1987 dihadiri penayangannya oleh Presiden Moon. Dan secara eksplisit, orang nomor satu di Korea Selatan itu meminta maaf dihadapan semua rakyatnya tentang insiden berdarah yang pernah terjadi di Gwangju, salah satu kota disana.

Kalau saya bilang sih, gila. Industri mereka memang tidak main-main. Namun, hukum alam tetap berjalan. Ketika ada sisi baik, maka selalu ada sisi buruk yang setiap tahun dari awal perhelatannya selalu diulangi oleh Oscar.

Jika kamu melihat daftar nominasi sutradara terbaik, adakah nama sutradara perempuan disana? Tentu saja tidak. Para sutradara perempuan terpaksa (lagi-lagi) harus gigit jari. Perempuan yang pertama kali mendapatkan Oscar untuk sutradara terbaik sendiri adalah Kathryn Bigelow pada tahun 2010. Yang lebih mengejutkan yakni lebih dari 9.000 anggota Academy didominasi pria kulit putih.

Kemudian bagaimana dengan saya, teman-teman saya, sineas lain, yang perempuan, berbangsa Asia serta bukan kulit putih? Bukankah hal itu sama saja dengan sudah jatuh tertimpa tangga namun masuk ke mulut singa?

Menjadi perempuan di industri ini, jujur sulit dan kalau dibilang berlebihan ya bisa saya katakan lumayan menyakitkan. Banyak kesempatan yang kami lewatkan hanya karena kami perempuan, saya serius loh ngomong ini. Bahkan saya bisa hitung pakai jari, berapa kakak tingkat perempuan yang menjadi sutradara dalam Tugas Akhir kuliahnya. Belum lagi candaan-candaan seksis yang rasanya bikin muak. Semua elemen harus mendukung, tidak hanya sineas sebagai individu, lingkungan perfilman yang tidak beracun, penonton yang antusias serta ya kalau boleh Pemerintah yang serius.

Tentu saja, ini tidak bisa diwujudkan secara simsalabim jadi. Perlu waktu, entah berapa tahun tidak ada yang tahu. Walaupun terdengar utopis, saya tetap ingin melihat sutradara perempuan representasi Asia atau mungkin saja negara kita berdiri disana. Memegang piala dengan tangis bangga.

P.S: By the way, buat kamu yang bangga Parasite menang kemarin, udah nonton film Indonesia belum?

Penulis: Saraswati Nur

Ilustrator: Ni’mal Maula