Kita semua mungkin paham bahwa pernikahan itu adalah acara sakral. Apalagi ketika acara akad nikah atau janji nikahnya, tentu saja sangat sakral, sebab di sana lah momen bersatunya dua manusia, dua keluarga, dengan nama Tuhan, tentunya.

Maka tidak heran jika banyak orang yang menginginkan acara pernikahannya jadi acara yang memorable. Ditata sedemikian rupa, dipersiapkan pula secara matang. Intinya, tidak boleh ada kesalahan, lah, ketika acara pernikahan (akad nikah atau janji nikah) berlangsung.

Beda akad nikah atau janji nikah, beda pula acara resepsi pernikahan. Acara resepsi pernikahan, lebih pada ramah-tamah, berbagi kebahagiaan setelah akad nikah atau janji nikah berlangsung. Biasanya, resepsi pernikahan ini dilakukan semeriah mungkin, makan-makan, pesta, mengundang sanak saudara dan teman-teman, untuk merayakan bersatunya dua manusia, dua keluarga.

Intinya, semua kebahagiaan diharap berkumpul jadi satu, dan mungkin suatu saat jika saya menikah, saya akan merasakan kebahagiaan yang sama ketika pesta.

Berhubung saya belum menikah dan belum pernah merasakan gimana jadi manten saat resepsi pernikahan, pengalaman saya hanya sebatas jadi sinoman dan menghadiri resepsi pernikahan saja.

Dulu, saya merasa bahwa datang ke resepsi pernikahan itu menyenangkan. Ketemu teman-teman, ketemu saudara-saudara, bisa makan makanan yang (biasanya) enak dan bermacam-macam. Dan kalau mau, bisa juga menyumbangkan satu, dua lagu untuk sekadar menghibur.

Tapi itu dulu, sebelum saya bertambah usia setua sekarang (ya meskipun usia saya masih 24 tahun dan belum tua-tua banget, Mungkin jiwa saya saja yang terlalu tua). Entah ada angin apa, saya berubah haluan menjadi kurang menyukai acara resepsi pernikahan.

Bukan soal iri kepada yang menikah atau takut diteror pertanyaan “kapan nyusul?”, tapi ketika saya semakin tua, saya semakin malas saja berada di situasi atau peristiwa yang melibatkan banyak orang seperti di resepsi pernikahan.

Entah mengapa semakin tua saya merasa tidak nyaman berada di situasi yang ramai. Di acara resepsi pernikahan, misalnya, kita dihadapkan dengan banyak orang yang lalu-lalang, suara-suara orang ngobrol yang beradu dengan suara musik, belum lagi suara bising piring yang beradu dengan sendok yang semakin bikin telinga rasanya mau pecah.

Acaranya pun biasanya gitu-gitu saja. Datang, makan, salaman dan foto-foto dengan pengantin, terus pulang. Membosankan, kan? Kalau konsep acaranya beda, atau ada acara khusus yang anti-mainstream, baru bisa dipertimbangkan untuk datang.

Terlebih lagi ketika kita diundang ke resepsi orang yang sebenarnya kita kenal, tapi tidak dekat-dekat banget. Itu pasti agak dilema. Mau datang tapi kenyataannya hubungan pertemanan tidak terlalu dekat, mau tidak datang nanti dikira sombong atau lupa teman. Serba salah, pokoknya.

Padahal, kalau sudah tahu hubungan pertemanannya tidak terlalu dekat, ya lebih baik tidak diundang, lah. Tidak apa-apa, kok. Jangankan teman yang tidak terlalu dekat, kalau ada saudara yang menikah pun saya masih malas-malasan datang. Kecuali kalau itu saudara yang dekat banget (dan baik banget), atau teman yang dekat banget, saya memang harus datang.

Rasa enggan untuk datang ke resepsi pernikahan ini ternyata didukung oleh situasi pandemi dua tahun terakhir ini. Saya sedikit bersyukur ketika pandemi, di mana jarang sekali ada acara pernikahan (dan tidak ada undangan yang datang ke rumah saya), terlebih di tahun pertama.

Kalau pun ada, skala acaranya jadi kecil, dan hanya mengundang keluarga saja. Pun kalau ada acara resepsi skala besar, saya bisa pakai alasan “masih takut pandemi” untuk tidak datang ke acara perikahannya. Perkara “amplop”, ya tinggal transfer saja, kan, bisa.

Saya paham, bahwa dalam Islam itu menghadiri undangan itu termasuk hak seorang muslim kepada muslim yang lain. Saya juga paham bahwa menghadiri undangan adalah bentuk rasa hormat atau respect kita kepada yang mengudang, begitu pun sebaliknya.

Tapi, perlu dipahami juga, bahwa semakin saya tua, datang ke acara resepsi pernikahan yang isi acaranya gitu-gitu saja itu benar-benar membosankan. Toh saya juga tidak sepenting itu untuk diundang, kan?

Editor : Hiz

Foto : Pexels