Musim kondangan telah berlalu, tinggal hitungan hari kalender jawa akan berganti menjadi bulan suro atau muharram dalam kalender islam. Katanya bulan tersebut tidak boleh dilangsungkan pernikahan (percaya tidak percaya). Bagi kaum jomblo yang merasa sepi, rasa sakit dan (mungkin) iri tidak akan berlalu begitu saja. Sebab banyaknya story dan postingan tentang orang nikahan seperti menyindir diri yang masih sendiri. Ditambah lagi dengan candaan bernada ejekan yang jumlahnya juga tidak sedikit, yang bunyinya seperti ini “Kamu kapan nyusul?”
Bagi kawula muda yang masih berjuang menyelesaikan studi, melihat teman-teman sebaya nikah duluan kadang mendatangkan rasa-rasa ingin segera menikah juga. Menikah dianggap sebagai akhir segala lelah dan gundah, apalagi nikah kan menyempurnakan iman. Tidak semudah itu, hidup ini tidak akan berakhir bahagia seperti kisah Cinderella yang menikah dengan pangeran tampan dan kaya raya, lalu tamat.
Pada kenyataannya menikah memang tidak semudah itu.
Banyaknya konten-konten medsos yang mengkampanyekan nikah muda menjadi salah satu penyulut hasrat semu ingin menikah di masa yang belum tepat. Gerakan Indonesia tanpa pacaran adalah salah satunya. Dikampanyekan berulang-ulang kalau pacaran itu mengandung banyak sekali keburukan di dalamnya, lebih baik langsung nikah saja untuk menghindari zina. Terlepas dari segala ketidak baikan dalam pacaran, menikah bukanlah solusi atas segala permasalahan. Toh agama dan kehidupan kita juga tidak melulu mengurusi soal zina dan zina bukan?
Menikah bukanlah perkara cinta sama cinta atau suka sama suka semata. Ada banyak hal yang harus dibahas sebelum sepasang manusia benar-benar terjun dalam biduk rumah tangga. Menikah adalah menyatukan banyak sekali perbedaan, tidak hanya soal hidup bersama berdua saja lalu selesai. Ada dua keluarga yang harus disatukan, ada dua pikiran yang harus dipadukan. Belum lagi soal kompleksitas perekonomian, hal ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan pertengkaran, percekcokan bahkan baku hantam dalam sebuah hubungan. Psikologis yang belum matang dan kurangnya perencanaan kedepan merupakan hal-hal menyeramkan yang kadang tidak terpikirkan sebelum memutuskan untuk menikah.
Menikah itu melipatkan gandakan rezeki, jadi tidak usah takut akan kekurangan dalam pernikahan. Ada benarnya juga, namun kalau tidak dipersiapkan baik-baik, bayar listrik, bayar air, bayar sekolah anak, beli makan, beli bedak, bayar biaya lahiran dan lain sebagainya mau ditutup pakai apa? Sepasang laki-laki dan perempuan yang memutuskan untuk menikah wajarnya harus sudah mandiri secara finansial. Mereka harus mampu memutar otak untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga mereka sendiri. Karena itulah salah satu satu goals dalam sebuah mahligai rumah tangga.
Tidak sedikit anak adam dan hawa yang latah nikah karena menelan mentah-mentah persoalan nikah itu sendiri. Resiko kesehatan dan mental membayang-bayangi keburu-buruan dalam mengikat hubungan. Hal itu kemudian akan berakibat panjang bagi anak-anak yang dimiliki dan hidup kedepan. Lagi pula, dalam kitab qurrotul uyun, ternyata ada 5 hukum nikah:
1. Wajib apabila orang yang ingin menikah sudah mampu secara lahir dan batin. Apabila tidak menikah dikhawatirkan malah akan berbuat zina.
2. Sunnah ketika seseorang sudah mampu secara lahir dan batin, namun belum ingin menikah dan masih mampu mengendalikan hawa nafsu.
3. Makruh jika dalam pernikahan seorang calon suami atau calon istri belum memiliki tekad yang kuat dalam memberikan pemenuhan hak-hak terhadap satu sama lain. Sementara dalam menahan syahwat masih mampu.
4. Mubah jika pernikahan hanya dijadikan sebagai alat untuk pemenuhan syahwat semata.
5. Haram menikah bagi orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi pasangannya secara lahir dan bathin. Selain itu hukum ini juga berlaku jika tujuan menikah adalah untuk menyakiti pasangan.
Jadi sebuah pernikahan harus melihat banyak pertimbangan sebelum dilangsungkan. Tidak sedikit pasangan muda yang akhirnya memutuskan berpisah di tengah jalan karena ketidak mampuan dalam banyak hal. Seperti tidak mampu menyatukan pemikiran, tidak mampu beradaptasi dengan kebiasaan pasangan, tidak mampu secara ekonomi dan tidak mampu-tidak mampu yang lainnya.
Kalau lelah dengan beban kehidupan yang tiada habis-habisnya, solusinya bukan menikah. Namun beristirahat dan mendekatkan diri pada Allah, menyegarkan pikiran dengan bermacam-macam cara, bertemu teman, jalan-jalan, makan, nonton film dan lain sebagainya. Terlepas dari jodoh dan nikah yang kita tidak tau kapan datangnya, terus memperbaiki diri dan menjadi sebaik-baiknya manusia adalah tugas manusia. Wallahua’lam.
Penulis: Rn. Novita Sari
Ilustrator: Ni’mal Maula
Comments