Beberapa hari ke belakang, saya membaca sebuah berita yang isinya menyatakan bahwa ada 2 prajurit TNI yang tewas dalam baku tembak dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Intan Jaya, Papua. Salah satu korban, Pratu Roy Vebrianto, diinformasikan ditembak dari jarak 200 meter pada saat bersih-bersih usai melaksanakan shalat shubuh. Satu korban lainnya, Pratu Dedi Hamdani, ditembaki saat dirinya mengejar anggota KKB di hutan yang terletak antara Kampung Sugapa Lama dan Kampung Hitadipa.
Hal ini jelas (kembali) memenuhi deretan panjang permusuhan dan kebencian antara aparat keamanan dan KKB tersebut. Teman-teman saya, yang ingin masuk ke TNI maupun Polri, sama-sama membikin ucapan belasungkawa terhadap 2 prajurit tersebut lewat story WhatsApp mereka. Salah satunya berisi ucapan-ucapan bertendensi nasionalisme yang menganggap bahwa orang-orang Papua itu tidak beradab, kami bisa saja membunuh mereka namun kami tahan dengan alasan HAM, dan kami TNI, sedang berusaha memberantas gerakan separatis itu.
Saya terhenyak dan agak sedikit kecewa melihatnya. Bukan karena saya marah pada teman saya yang membikin story WA tersebut, melainkan pada ‘mereka-mereka’ yang melanggengkan pendekatan-pendekatan keamanan terhadap Papua sehingga terkesan “menormalisasi” konflik-konflik di Papua hanya sebagai bagian dari upaya “nasionalisme” untuk memberantas gerakan separatis semata. Nasionalisme akhirnya disempitkan hanya dengan sekadar untuk mengucapkan “NKRI Harga Mati” dan sebagainya, namun tidak menyasar ke persoalan yang lebih mendasar.
Doktrinasi Nasionalisme Buta
Menjejalkan ideologi nasionalis pada siswa-siswa baru di TNI maupun kepolisian memang sudah menjadi tradisi yang turun temurun dan, mungkin, tak boleh dihilangkan. Hal ini diperlukan untuk menumbuhkan kecintaan dan pengabdian yang tulus pada negara. Namun, jika dilihat-lihat, yang dilakukan oleh aparat keamanan, khususnya di Papua, justru hanyalah untuk “mengamankan” lumbung-lumbung proyek besar dari negara yang menimbulkan protes dari warga Papua itu sendiri.
Konflik-konflik berkepanjangan yang dialami oleh aparat Indonesia, laskar pro kemerdekaan Papua, hingga warga sipil di sana sesungguhnya adalah ekses dari salahnya pengambilan kebijakan publik semata. Tidak usah munafik, dari awal Papua memang diincar untuk diserap sumber daya alamnya saja. Dalam buku sejarah kita, digambarkan secara heroik bahwa Papua ‘dibebaskan’ dari tangan Belanda melalui berbagai hal seperti operasi Trikora, New York Agreement, hingga jajak pendapat (Pepera) pada tahun 1969 yang sarat kecurangan itu. Bagi orang Papua, ketiga hal di atas, justru dianggap sebagai awal penjajahan republik.
Seperti yang kita tahu, harta karun di alam Papua sangatlah melimpah sampai-sampai membikin Amerika Serikat kepincut buat memiliki gunung Grasberg yang konon merupakan tambang dengan cadangan emas terbesar di dunia. Namun, banyak dari kita yang kita tak tahu, wilayah Grasberg adalah wilayah sakral yang oleh masyarakat setempat dianggap sebagai ‘ibu’ dan dengan menghancurkannya menjadi tambang, maka itu sama saja menghina keyakinan mereka. Dan layaknya suatu masyarakat yang keyakinannya dihina, tentu mereka akan ‘marah besar’.
Salah satu founding father negeri kita, Mohammad Hatta, bahkan secara terang-terangan menolak ambisi Soekarno untuk merebut Papua. Alasannya cukup sederhana, Papua, secara etnis yang masuk ke rumpun melanesia berbeda dengan wilayah jajahan Belanda lain. Ia berpikir, Papua berhak untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang merdeka. Jika Indonesia ikut campur, ditakutkan kita malah akan jadi negeri yang tak jauh beda dengan Belanda, yakni negara imperialis.
Imperialisme ini jelas sangat bertentangan dengan falsafah di pembukaan UUD 45 kita yang konon anti penjajahan itu. Oleh karenanya, narasi-narasi ingin ‘membangun Papua’ yang berasal dari Jakarta lewat pembangunan-pembangunan jalan tol, otonomi khusus dengan uang yang lebih banyak, modernisasi di segala sektor adalah konsep “keadilan” yang asing bagi Papua yang hidup dengan multikulturalisme. Belum lagi ditambah dengan ujaran-ujaran rasis terhadap orang Papua yang sampai sekarang bahkan sering kita lihat.
Kurangnya pengetahuan antropologis tentang konsep ‘adil’ bagi Papua inilah yang melanggengkan konflik-konflik bertumbuh subur. Sialnya, respon dari pemerintah hanyalah dengan doktrinasi nasionalisme yang semu, yakni pendekatan keamanan dan kekuatan bersenjata. Dan jika kekuatan bersenjata harus dilawan dengan kekuatan bersenjata, maka hasilnya adalah kebencian yang tak pernah selesai.
Perlu kembali ditegaskan, bahwa pangkal permasalahan bagi orang Papua adalah keinginan mereka mendapat politic of recognition (politik pengakuan) yang bisa dilakukan lewat diskusi damai seperti yang dilakukan Gus Dur, penyelesain kasus-kasus pelanggaran HAM, dilibatkannya orang Papua asli dalam segala bentuk kebijakan yang diambil karena, sekali lagi, konsep adil bagi Papua tidaklah sama dengan Jakarta. Dan kita seringkali ingin membungkusnya dengan nasionalisme ala orang Jakarta saja. Selama hal ini belum disadari, negara ini hanya memupuk kematian demi kematian saja di sana.
Penyunting: Halimah
Sumber gambar: KASKUS
Comments