Semenjak saya masih berstatus sebagai Maba (Mahasiswa Baru), saya seringkali mendengar ungkapan, entah dari senior maupun dosen. Ungkapan yang saya maksud yaitu, kampus adalah miniatur negara. Saya dulu sempat mengamini apa yang mereka ucapkan, tetapi kini saya malah justru muak dan hendak muntah ketika mendengar ungkapan tersebut diucapkan.
Di antara hal yang membuat saya muak dan muntah-muntah adalah apa yang mereka ucapkan itu nggak sesuai dengan realita yang ada. Ya, saya nggak bermaksud menggeneralisasikan ya, bahwa yang mereka katakan sebenarnya ada (sedikit) benarnya juga. Namun, saya meyakini bahwa yang mereka katakan lebih banyak yang nggak sesuai dengan kenyataan.
Ketika kampus dikatakan miniatur negara, hendaknya mahasiswa sebagai aktor dapat bekerja profesional selayaknya mereka yang menyandang status sebagai wakil rakyat. Itu seharusnya. Realitanya, mereka bekerja seadanya dan nggak mencerminkan wakil mahasiswa.
Kedudukan BEM/DEMA yang Nggak Punya Urgensi
Hal yang paling pertama saya amati adalah tentang kedudukan BEM atau DEMA. Kedua nomenklatur tersebut merujuk pada satu organisasi yang sama, ya cuma beda penyebutan. Yang saya pertanyakan adalah, apa sih urgensinya BEM? Coba kita ulas satu per satu dengan kepala dingin dan akal sehat (jika masih waras).
Mulai dari hakikat dari BEM sendiri adalah wakil mahasiswa. Yang saya pertanyakan adalah yang mereka wakili itu mahasiswa yang mana? Bukankah mereka itu mewakili kelompok mereka sendiri? Coba deh, cek kampus kalian masing-masing.
Selanjutnya adalah kinerja dari BEM itu sendiri. (Sangat) sedikit sekali BEM yang mau mewakili keresahan mahasiswa yang dipimpinnya. Saya contohkan begini, kinerja dari BEM kan nggak jauh dari diskusi, audiensi, serta demonstrasi. Namun, dari ketiga hal tersebut, coba kalian hitung dengan persentase. Pengurus yang ikut itu kan ya cuma itu-itu aja ya? Mana yang lain?
Ketiga adalah masalah pada jabatan mereka ini. Pemimpinnya disebut presiden mahasiswa, yang menurut saya nggak pas. Ini baru beberapa keresahan, belum lagi masalah pertanggungjawaban, program kerja, maupun pengelolaan dana yang ngawur dari mereka.
Kepentingan Kelompok yang Mendominasi
Seperti yang sudah sedikit saya ungkap di atas, bahwasanya BEM itu memang nggak ada urgensi dan juga problematik. Salah satu problematika yang membuat saya geleng-geleng kepala adalah kepentingan kelompok yang sangat disakralkan. Para pengurus BEM yang notabenenya adalah perwakilan mahasiswa, justru tidak mencerminkan itu. Sama sekali, titik. Mereka cuma mewakili golongan mereka sendiri.
Kita mulai dari saat proses pemilihan ya, guys. Tak jarang saat proses pemilihan terjadi saling sikut antara satu dengan kelompok lain. Bahkan, aksi saling sikut ini diwarnai dengan tindakan tidak sehat. Di sini saya nggak perlu jelaskan ya, maksud dari tidak sehat itu seperti apa. Entah pengaturan suara, kecurangan saat proses perhitungan, atau bahkan aksi lain yang memperparah ketidaksehatan proses demokrasinya.
Hal itu berlanjut saat recruitment pengurus. Di sini akan tampak adanya semacam wakaf politik. Yaps, mereka hanya akan menerima mahasiswa yang satu pemikiran dan satu golongan dengan mereka, alias yang berasal dari ORMEK yang sama. Dengan kata lain, mereka akan yang berbeda golongan sudah pasti akan tidak diterima atau tersingkir. Ya, kalau gini, kinerjanya bisa dipertanyakan donk.
Pihak Akademik yang Gemar Intervensi
Tidak dapat dipungkiri, bahwasanya kedudukan organisasi mahasiswa (ORMAWA) masih jauh di bawah struktural pihak akademik maupun birokrat kampus. Sehingga, banyak sekali tindakan intervensi yang dilakukan oleh pihak birokrat kepada organisasi mahasiswa, termasuk BEM dan kawanannya. Intervensi tersebut meliputi banyak aspek, mulai dari program kerja hingga arah gerak.
Partisipasi Mahasiswa yang Minim
Dalam proses demokrasi, partisipasi pemilih menjadi sesuatu yang sangat penting. Sebab, partisipasi pemilih kita dapat menilai seberapa besar animo pemilih dalam pesta demokrasi. Namun, bagaimana dengan di kampus? Dalam pemilihan umum misalnya, ada target suara (kuorum) yang disepakati agar pemilu bisa dikatakan sah.
Hal ini sangat berbeda dengan yang ada di (beberapa) kampus. Bahwa hanya segelintir saja yang menerapkan kuorum dalam pemilihan ORMAWA. Sehingga yang menang, ya itu yang jadi. Bahkan seringkali menemui calon tunggal. Ya, pasti jadi kalau itu.
Dilema Pers Mahasiswa
Pers merupakan pilar keempat dalam demokrasi. Sehingga, pers mempunyai peran yang penting demi terciptanya demokrasi yang baik, di samping tiga pilar dalam trias politica. Pers hendaknya menjadi kontrol terhadap kebijakan yang diambil oleh elemen pemerintahan. Begitu pula dengan pers mahasiswa yang hendaknya menjadi pengawas kebijakan, baik kebijakan ORMAWA maupun birokrat kampus.
Namun, inilah yang menjadi dilematisnya pers mahasiswa. Mereka akan dihadapkan dengan berbagai permasalahan, ketika menjalankan tugasnya sebagai kontrol kebijakan. Tak jarang, berbagai represi maupun kekerasan mereka terima ketika menjalankan tugasnya. Represi tersebut datang dari sesama rekan mahasiswanya maupun pejabat kampus.
Karena hal tersebut, banyak anggota pers mahasiswa yang memilih zona nyaman untuk menghindari konflik yang tidak diinginkan. Mereka seakan diam melihat berbagai kejanggalan yang ada. Hal ini tidak lain karena mereka enggan berkonflik dan mungkin tak ada kawan yang membantunya ketika dapat represi. Inilah yang menjadi hal yang dilematis.
Hanya Goresan Tak Berarti
Ya, itulah tadi beberapa hal yang membuat politik miniatur negara saya nilai “cacat.” Tentunya, penilaian cacat ini menurut perspektif saya pribadi sebagai mahasiswa dan pengamat politik kampus. Mungkin di kampus lain kejadiannya berbeda, tetapi besar kemungkinan indikatornya sama dengan yang saya ulas di atas.
Editor: Bunga
Gambar: Google
Comments