Soto merupakan kuliner nusantara yang hampir ada di setiap daerahnya. Ada soto Betawi, soto Semarang sampai soto Kudus. Setiap daerah memiliki resep, cita rasa, dan kekhasan sotonya masing-masing. Misal soto Betawi yang kuahnya menggunakan susu.
Pada awal merantau di Sulawesi, saya kira coto sama dengan soto. Sebab, namanya agak-agak mirip. Sama halnya soto dengan sroto. Ditambah soto dan coto sama-sama jenis makanan berkuah.
Ternyata setelah beberapa kali menikmati kudapan asal Makassar ini, ada berbagai perbedaan antara coto dengan soto. Sehingga membuat saya sebagai orang Jawa mengalami culture shock sejak pertama kali mencicipi coto. Apa saja bentuk culture shocknya? simak sebagai berikut:
Warna Kuah Coto
Rata-rata warna kuah soto favorit saya adalah bening. Kuah soto yang bening ini biasanya berasal dari daerah Jawa Tengah. Misalnya soto Sokaraja dan soto Semarang. Warna bening dari dua soto tersebut tampak menarik. Terlihat segar sehingga dapat menggugah selera.
Sementara warna kuah coto berbanding terbalik dengan soto favorit saya. Warna kuah coto cenderung gelap. Antara kecoklatan sampai hitam legam. Tergantung coto khas mana. FYI, coto nggak selalu dari Makassar, ya. Ada juga yang dari Maros. Tapi memang yang paling terkenal di kancah nasional adalah coto makassar.
Dimakan dengan Ketupat atau Buras
Mayoritas soto di Jawa dimakan bersama nasi. Hanya cara penyajiannya saja yang berbeda-beda. Ada yang nasinya langsung dijadikan satu dengan soto. Ada pula nasi yang dipisah dengan soto. Selain dimakan dengan nasi, soto di Jawa biasanya dimakan bersama lontong yang dibungkus dengan plastik.
Sedangkan nasi bukan jadi pendamping makan coto. Umumnya coto berdampingan dengan ketupat atau buras. Buat yang belum tau, buras itu mirip dengan lontong yang dibungkus daun pisang. Bedanya rasa buras lebih gurih karena dimasak dengan santan.
Varian Isian Lebih Unik (Daging Kuda)
Biasanya soto di Jawa menggunakan daging ayam sebagai isiannya. Atau, paling mentok menggunakan daging sapi untuk isiannya. Yang cukup unik cuma di Kudus saja. Di sana terdapat soto kerbau. Alasan soto kudus menggunakan daging kerbau karena untuk menghormati Umat Hindu yang berada di wilayah Kudus dan sekitarnya.
Sesungguhnya varian isian coto secara umum memakai daging sapi dan jeroannya. Akan tetapi daging sapi dan jeroannya bukan satu-satunya jenis isian coto. Ada pula coto dengan varian isi daging kuda. Seperti yang kita tahu bahwa daging kuda bukan varian umum dalam olahan masakan khas Jawa.
Nggak Ada Bihunnya
Selain daging, bihun menjadi isian yang cukup saya sukai di dalam semangkuk soto. Bagi saya bihun bukan hanya menambah cita rasa saja. Bihun juga meningkatkan rasa kenyang penikmatnya. Mengingat bihun terbuat dari tepung beras yang dapat mengenyangkan.
Sayangnya, dalam seporsi coto tidak ada bihun sama sekali. Mengapa saya mengharapkan ada bihun dalam coto? soalnya prasangka awal saya tadi. Saya mengira bahwa coto sama dengan soto di Pulau Jawa. Yang dilengkapi dengan bihun juga.
Nggak Ada Sayurannya Sama Sekali
Coto bukan hanya tidak dilengkapi bihun. Coto juga nggak dilengkapi sayur sama sekali. Biar satu jenis pun. Tak sama dengan soto di Jawa yang dilengkapi beberapa jenis sayur. Contohnya seperti toge, kol, tomat, dan kentang.
Resep Kuah Coto Pakai Air Tajin
Waktu melihat kuah coto yang gelap, saya jadi penasaran dengan bahan dasarnya. Saya cukup tercengang saat teman saya yang asli Sulawesi bilang bahwa salah satu bahan membuat kuah coto adalah air beras. Saya sampai memastikan bahwa air beras yang dimaksud adalah air cucian beras alias air tajin.
Hal ini sepertinya yang menjadi culture shock terbesar saya pada coto. Tapi, bukan air cucian beras pertama yang paling kotor itu ya. Melainkan air cucian kedua atau berikutnya yang lebih bersih. Sehingga coto tetap higienis.
Begitu sekiranya culture shock saya sebagai orang jawa saat mencicipi coto. Inti kesimpulannya adalah coto ini berbeda jauh dengan soto di Jawa. Sekalipun namanya agak mirip-mirip. Akan tetapi, coto tetap menjadi salah satu kuliner yang patut dicoba ketika plesiran di daerah Sulawesi.
Editor: Bunga
Gambar: Google
Comments