Beberapa waktu lalu saya sempat melihat warga Twitter rame-rame membahas soal isu beauty privilege. Sederhananya, beauty privelege itu adalah keuntungan-keuntungan yang mungkin didapatkan karena orang tersebut good looking.
Ada yang percaya kalau beauty privelege itu nyata, tapi ada juga yang kontra karena yah orang-orang good looking juga punya masalah mereka sendiri dan hidup mereka tidak menjadi lebih mudah seperti yang orang-orang pikir hanya karena mereka good looking.
Tapi, diluar perdebatannya, topik beauty privelege ini jadi mengingatkan saya pada film Shrek 2 yang dulu pernah saya tonton waktu masih menjadi bokem alias bocah kematian, karena saya baru sadar kalau ternyata film ini sangat menggambarkan realita masyarakat kita sekarang terkait isu beauty privilege ini.
Shrek Seorang Oger Besar Buruk Rupa
Shrek 2 menceritakan bagaimana Shrek sebagai seorang oger besar buruk rupa sulit untuk bisa diterima di lingkungan kerajaan Far Far Away dan juga bahkan untuk diterima oleh mertuanya sendiri.
Orang-orang lebih menyukai prince charming yang memiliki wajah tampan dan tubuh yang ideal daripada Shrek.
Bukan cuman itu, mereka juga sulit menerima kenyataan bahwa putri Fiona ternyata adalah seorang oger besar hijau dan sangat berbeda dengan putri-putri negeri dongeng lainnya yang memiliki kulit putih, wajah cantik dan tubuh langsing.
Film ini juga memperlihatkan bagaimana kehidupan shrek berubah drastis jika dia adalah seorang pria tampan.
Selain itu, beberapa scene di film ini juga menjelaskan bahwa kehidupan happy ever after atau hidup yang diakhiri dengan bahagia selamanya itu hanya dimiliki oleh seorang putri cantik dan pangeran tampan tanpa ada oger buruk rupa di dalamnya.
Padahal film Shrek 2 ini diproduksi di tahun 2004, loh! Yang mana berarti isu beauty privelege ini sebetulnya sudah terjadi sejak lama.
Oh dan yang saya suka dari film ini (spoiler alert!) akhir yang disuguhkan bukanlah akhir klise di mana kedua tokoh utama terbebas dari kutukan dan menjadi manusia utuh yang cantik dan tampan.
Melainkan pada akhirnya semua orang bisa menerima Shrek dan Fiona sebagai diri mereka sendiri, sebagai ogers.
Realitas Isu Beauty Privilege
Lewat film Shrek 2 ini setidaknya kita jadi dibuat paham bagaimana memang pada kenyataannya terkadang orang-orang bersifat lebih baik kepada si cantik dan si tampan.
Sebagai seseorang dengan muka pas-pasan saya juga pernah lah mengalami hal yang serupa seperti Shrek dan Fiona (sedikit curhat yah, pren).
Dan jujur saja, saya rasa itu adalah realitas pahit yang tidak seharusnya kita terima. Intinya adalah, sebagai sesama manusia kita tidak boleh memperlakukan orang lain secara berbeda hanya karena fisik mereka lebih cantik atau tampan.
Ingat Pasal 2 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berbunyi,
“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.”
Nah kalau kita merujuk pada deklarasi ini, sebetulnya isu beauty privilege itu adalah sesuatu yang kurang manusiawi.
Tapi perlu digaris bawahi, walaupun kita terkikis hatinya karena pernah menjadi korban dari isu beauty privilege ini bukan berarti kita bisa menyalahkan orang good looking seenaknya.
Jadi narasi seperti “alah kamu mah enak cantik”, “oh wajar lah kamu keterima kan kamu ganteng” dan sejenisnya itu juga tidak baik, yah.
Makannya mulai sekarang dan seterusnya daripada kita terus-terusan ribut dan malah jadi saling membenci satu sama lain, mari kita sama-sama memperlakukan siapapun dengan setara tanpa membeda-bedakan, dimulai dari diri kamu sendiri!
Editor: Lail
Gambar: Pexels
Comments