Memetik inspirasi dari drakor Vincenzo.
Banyak cara seseorang belajar. Yang mainstream tentu saja melalui pendidikan formal. Namun kehidupan pun adalah sekolah terbaik tanpa memandang strata dan kelas sosial. Seperti halnya seorang Chairman Jang Han-Seo dalam drama korea (drakor) bergenre beobjeong (hukum), ‘Vincenzo’. Meski ia adalah bos besar mega perusahaan Babel, tapi sesungguhnya ia bak bonekanya real boss Babel yang berdarah dingin, yakni Jang Joon-Woo.
Namun demikian Jang Han-Seo mempunyai keinginan kuat memimpin Babel secara benar dan manusiawi, maka ia pun menuruti saran dan syarat sang Concigliere Vincenzo, yakni meningkatkan literasi diri dengan dengan banyak membaca buku. Vincenzo menganggap Jang Han-Seo belum siap menjadi pemimpin Babel karena menjawab pertanyaan seputar teori ekonomi klasik Adam Smith yang kita kenal dengan teori ekonomi Laissez-faire-nya, ia tergagap-gagap. Literasi menjadi salah satu parameter dalam menilai kompetensi seorang pemimpin.
Diperankan Kwak Dong-Yeon yang pernah main di ‘My ID is Gangnam Beauty’ dan ‘Radio Romance’, karakter Jang Han-Seo mengajarkan kita bahwa menjadi pemimpin tak hanya bermodal kaya turunan. Lebih dari itu diperlukan pula tingkat literasi yang baik dengan banyak membaca untuk mengatasi persoalan tertentu baik dalam konteks kerja, keluarga, masyarakat, bahkan negara, sehingga kompetensi diri dalam berkomunikasi, menulis dan mengkalkulasi segala kemungkinan dan target menjadi akurat.
***
My Brother and Sister, dalam setiap kejadian kehidupan, saya pikir kita dapat menarik hikmah, baik hikmah yang kelihatan nyata maupun hikmah terselubung (blessing in disguise), termasuk saat menonton drakor. Jadi, jika ada orang yang bilang bahwa nonton drakor hanya sebagai sarana membunuh waktu (killing time), hobby para bunda-bunda muda atau para ABG yang tergila-gila dengan kegantengan dan kecantikan para aktor-aktris Korea yang glowing-glowing itu, memang benar. Eh, maksud saya ada hikmah lain seperti dalam drakor ‘Vincenzo’ yang baru tamat itu. Saya pikir kita patut meniru semangat membaca Jang Han-Seo yang sadar diri kurang literasi.
Meski adegannya hanya mendapat porsi tak terlalu banyak dari seluruh episode ‘Vincenzo’ , namun pesan kepada penonton agar meningkatkan literasi dengan banyak membaca melalui sosok Jang Han-Seo, sangat mengena, khususnya ke diri saya. Artinya, tak pandang seseorang adalah Big Boss sebuah perusahaan besar sekalipun, jika ia kurang literasinya maka ia akan terlihat tampak bodoh dan kurang cakap dalam memimpin.
Untuk konteks Indonesia, urgensi literasi ini semakin krusial di era dimana kita saksikan sebagian orang, sebagian ya, yang lebih suka menghabiskan kuota menonton konten video di medsos tinimbang anggaran membeli dan membaca buku-buku politik, ekonomi, sosial, budaya atau sejenis novel, antologi esai, dan sains.
Belum lagi buat anak-anak batita dan balita yang belum bisa membaca, pastilah yang disodorkan adalah smartphone atau gadget lainnya agar si anak anteng tak mengganggu aktivitas orangtuanya yang sedang rapat virtual atau aktivitas jual beli on line misalnya.
Tak salah juga sih nonton video di medsos sebagai eskapis rutinitas. Tapi sebaiknya jangan biarkan anak-anak melewatkan fase membaca setelah fase bertutur. Banyak anak-anak yang langsung melompat ke fase menonton dari fase bertutur. Ya, memang sih kelihatannya lebih mudah membuat video-video ringan namun cepat viral daripada menulis artikel, esai, apalagi buku yang harus melalui kurasi ketat redaktur media.
Raihan cuan pun lebih mudah digapai jika video yang dibuat bisa viral atau banyak subscriber. Bahkan hingga diundang ke stasiun TV. Sudah dapat cuan, popularitas pun dituai.
Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Maka tak heran, membuat konten video adalah menjadi jalan Ninja bagi mereka yang menginginkan kesuksesan dan kepopuleran dengan cara instan. Akhirnya bisa jadi generasi pembaca akan tergerus zaman.
***
Dari deskripsi yang saya paparkan di atas, saya pikir budaya membaca memang harus diciptakan dalam circle keluarga sejak anak masih kecil. Minimal di rumah tersedia semacam mini perpustakaan koleksi orangtuanya atau koleksi bacaan si anak yang ditata sedemikian rupa dan mudah diakses kapan pun si anak ingin membacanya.
Waah, jadi serius, ya? Memang harus serius kalau terkait kaderisasi pemimpin masa depan. Belum lagi kalau masuk dalam kategori jenis buku yang dibaca, buku asli atau repro alias bajakan. Ruwet-ruwet! Sudah masuk dalam bahasan wilayah mental anak bangsa. Nantilah ditulis lagi dalam artikel lain.
Balik lagi urusan drakor. Bagaimana? Ternyata drakor pun mengandung muatan literasi yang memberikan pesan-pesan edukatif akan literasi seperti drakor ‘Vincenzo’, ‘kan? Jadi, sudahkah mendapat inspirasi dari drakor Vincenzo juga?
Editor : Hiz
Comments