Siapa yang sudah nonton J-Drama Unlucky Girl?
Pernahkah merasa kalau terkadang situasi sial sering datang menghampir di kala situasi penting atau ketika genting, selalu ada saja hambatannya. Entah itu ketika berangkat terlambat, namun jalanan justru ramai-ramainya dengan kendaraan besar, membuat keterlambatan semakin menjadi-jadi. Atau ketika sudah mengunci rapat semua pintu dan jendela, malah ada barang yang lupa di bawa padahal sedang buru-burunya.
Banyak masalah sepele yang datang betubi-tubi membuat kita dengan mudahnya menyematkan predikat “sial” di hari yang tengah kita lalui. Sebagaimana kata banyak orang, bahwa ungkapan adalah doa, pun apa yang kita pikirkan dapat pula terealisasi menjadi nyata.
Jadilah, hari yang kita anggap sial itu benar-benar mewujud nyata menjadi hari sial, dengan banyak kesialan lebih besar yang mengikuti. Membahas tentang kesialan, ada sebuah dorama jepang yang tentang hal ini, sebuah dorama bergenre komedi dengan judul Unlucky Girl (2021).
Dorama ini mengisahkan tentang seorang perempuan bernama Fukura Sachi yang sejak ia lahir telah tertimpa kesialan terus menerus dalam hidupnya bahkan hingga sekarang. Ia didampingi dengan dua temannya yang lain, yang kurang lebih sama kerap sialnya, mencoba mencari kebahagiaan dalam hidup.
Karakter Fukura Sachi di sini, sangat relevan dengan kita di masa yang serba cepat ini, di mana terkadang keadaan kerap tak berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan. Kadang ada rasa mengapa harus kita sih yang mengalami kesialan ini? Kenapa bukan orang lain aja?
Namun berbeda dengan kita, Fukura Sachi yang diceritakan dalam dorama Unlucky Girl sebagai manusia paling sial, justru masih dapat menikmati kehidupannya. Maka dari, itu sangat menarik rasanya untuk membahas bagaimana pemikiran Sachi dalam memandang kesialan dalam hidupnya yang mungkin saja dapat juga kita ikuti ketika sedang menghadapi hari buruk.
“Berteman” dengan Kesialan
Pernahkah mendengar tentang ungkapan, “bahagia itu dimulai dari diri sendiri”? Ya, kelihatannya ungkapan inilah yang hendak diutarakan oleh drama asal negeri Sakura tersebut. Bahwa bahagia tidak melulu harus menunggu keadaan yang ideal, namun dalam keadaan apapun kita tetap dapat bahagia.
Ada sebuah buku menarik yang ditulis oleh Sonja Lyumbomirsky yang berjudul The Miths of Happines. Dalam buku tersebut ia membahas tentang hal-hal yang menurut kebanyakan orang dapat mendatangkan kebahagiaan, namun ternyata tidak.
Sonja menjelaskan bahwa salah satu mitos kebahagiaan adalah gagasan bahwa “aku akan bahagia, ketika ….(hal yang diinginkan)”. Hal ini merupakan janji palsu, bukan sebuah pencapaian mimpi, dan hal ini tidak akan pernah membuat kita bahagia.
Kita merasa, bahwa tanpa tercapainya keinginan itu kita tidak akan pernah merasa bahagia. Padahal walau keinginan kita tercapai sekalipun, boleh jadi tidak akan sebahagia yang kita yakini, pun kebahagiaan yang didapat tidak akan berlangsung selamanya.
Jika menilik pada karakter Sachi yang sial, mungkin harusnya ia mengeluh seperti kita juga. Tapi rupanya tidak, ia justru lebih memilih menjadikan kesialan itu sebagai temannya, menghitung satu persatu kesialan yang dialaminya, dan menikmati tiap momen dalam hidupnya.
Bagi Sachi, bahagia tak melulu harus menunggu keberuntungan datang menghampirinya. Namun bahagia adalah bermula dari dirinya sendiri, mensyukuri hal-hal kecil yang terjadi tanpa peduli apakah itu menyenangkan atau justru berakhir menjadi kesialan.
Teori Relativitas Keberuntungan
Bisa dibilang ungkapan “Teori Relativitas Keberuntungan” adalah ungkapan yang kerap disebutkan oleh Narator dalam drama tersebut. Salah satu cara yang digunakan karakter Sachi untuk tetap bahagia meski hidupnya dipenuhi kesialan.
Di mana ketika Sachi sedang mengalami kesialan bertubi-tubi dan sudah dalam batas kesabarannya, maka ia akan membayang kondisi yang lebih buruk seperti penyiksaan atau pembunuhan. Kemudian, ia akan merasa bersyukur karena yang dialaminya tidak seburuk dan semengerikan disiksa atau dibunuh.
Hal ini sama seperti kita ketika sedang merasa paling terpuruk, di mana seringkali kita akan melihat orang-orang yang posisinya di bawah kita, dengan begitu ada rasa syukur yang akan muncul di tengah-tengah keterpurukan itu. Misalnya saja ketika gagal menjalankan bisnis, tentu kita akan merasa sedih, gagal, dan kecewa atau bahkan mungkin mencari-cari kambing hitam.
Namun, ketika kita menjumpai di luaran sana ada banyak pebisnis yang mengalami kesulitan dan kegagalan yang jauh lebih besar dari kita, bukankah kegagalan kita terasa tidak ada apa-apanya? Dengan cara ini, kita tidak akan terus menerus berkubang dalam keputusasaan dan berfokus pada bagaimana menghadapi kegagalan atau kesialan yang kita hadapi.
Menemukan Keberuntungan Kecil di Tengah Kesialan
Hal ini akan terjadi ketika kita menerapkan “Teori Relativitas Keberuntungan”. Ketika kita mensyukuri keaadan kita saat ini, tanpa peduli seburuk atau setidakideal apapun keadaan yang dialami, maka akan ada keberuntungan-keberuntungan kecil yang akan kita temukan di tengah kesialan-kesialan itu.
Mungkin ungkapan klise seperti “ambil hikmahnya saja” ada benarnya. Selalu ada sesuatu yang menarik di balik segala kejadian dalam hidup kita, entah itu kesialan atau keberuntungan, bahkan juga dalam setiap rutinitas yang terasa membosankan.
Dengan rasa syukur yang hadir dalam hati, maka kita akan lebih mampu untuk menghargai satu per satu keberuntungan kecil dalam hidup, yang boleh jadi sering kita abaikan karena terlalu banyak mengeluh pada keadaan. Entah itu setarikan nafas yang begitu mudah dan ringan, sesuap nasi yang mengenyangkan, atau mungkin seindah sinar mentari pagi yang mengintip di balik jendela.
Editor: Ciqa
Gambar: google.com
Comments