Hampir semua di sudut-sudut kota, lokasi pekarangannya bisa di tempati untuk parkir kendaraan, selalu saja diatur oleh pemerintah setempat. Dengan alasan untuk dikelola guna membayar retribusi atau biasa dikenal dengan biaya parkir.
Seperti pusat-pusat perbelanjaan, apalagi tempat wisata tentu tidak pernah lepas untuk bertemu para penagih parkiran. Meskipun, lama berkunjung hanya hitungan menit saja bahkan detik, pasti akan dimintai juga untuk membayar iuran parkir.
Pasalnya sih, retribusi atau iuran parkir digunakan agar dapat menjadi pemasukan bagi suatu daerah. Maka dengan itu juga dapat menjadi nilai ukur untuk melakukan berbagai pembangunan. Iya betul sih jika memang pengelolaannya baik atau tidak melakukan tindakan korupsi.
Sebenarnya ada banyak penghasilan daerah yang dapat menjadi penopang berkembangnya suatu wilayah. Dan mestinya itu mampu didistribusikan agar masyarakat mampu merasakan timbal baliknya. Namun, jika yang terjadi pungli tentulah sangat merugikan. Walaupun kita tidak akan heran jika perilaku pungli masih kerap dijumpai, terutama dalam dunia perparkiran juga sering terjadi.
Selain biaya parkir yang sering ada tindakan pungli di dalamnya, pengelolaan tempat parkir juga sering menimbulkan rasa sebal. Contohnya saja saat kita berkunjung di bank dan ingin menarik uang, tentu tak asing akan bertemu para penagih parkir dengan gaya gokilnya. Walaupun waktu kita berkunjung hanya berkisar beberapa menit saja, tetapi tetap juga akan dimintai untuk membayar iuran parkiran.
Nah, kira-kira bagaimana kalau misalnya kita berkunjung ke bank berulang-ulang kali dengan waktu relatif singkat, maka seketika itu juga tetap datang para penagih parkir. Parahnya jika para penagihnya datang tanpa identitas yang jelas dan menyatakan bahwa mereka para penjaga parkir. Itu kan sembrono.
Hal serupa yang sering terjadi di pasar-pasar tradisional, setiap sudut-sudut parkiran pasti ada penagih parkirnya. Dan biasanya ini banyak terjadi untuk kendaraan roda dua, selain itu para penagih parkiran juga bermacam-macam. Padahal, kenyataannya kendaraan tidak sepenuhnya juga dijaga dengan baik, tetapi tetap saja membayar iuran parkir jika sudah berkunjung ke tempat tersebut.
Dulu saya sempat mengalami hal seperti itu, saat saya ke pasar bersama ibu dengan tujuan untuk berbelanja. Awalnya saya pikir tidak bayar parkir karena saya menunggu di motor dan agak jauh juga dari tempat parkiran, tetapi tetap juga deh membayar, bukannya saya tidak mau bayar parkir. Padahal saya tidak kemana-mana dari parkiran tersebut, bahkan saya sendiri yang menjaga motor saya.
Meskipun biaya parkiran mungkin hanya terhitung sedikit saja, yang hanya berkisar 2000-3000-an. Akan tetapi, jika 2000 itu dikalikan dengan berapa banyak orang yang berkunjung ke tempat parkiran setiap harinya, maka tentu hitungannya pun akan banyak dalam waktu yang relatif pendek.
Selain masalah itu, ada juga problem lain yang tak kalah penting dan agak paradoks. Yakni Alfamidi dan pasar tradisional yang notabenenya sama-sama menjadi pusat perbelanjaan. Biasanya Alfamidi banyak dikunjungi oleh masyarakat kelas atas, sedangkan pasar tradisional justru kebanyakan dari masyarakat bawah.
Bukan karena masyarakat bawah tidak bisa berkunjung ke Alfamidi, melainkan harga barang-barang di tempat tersebut tidak semurah dengan harga barang yang ada di pasar tradisional. Makanya sih tidak heran jika para pengunjung Alfamidi itu kebanyakan oleh orang-orang yang mempunyai dompet tebal.
Sehubungan dengan tempat parkir, saat saya perhatikan ketika berkunjung ke beberapa Alfamidi atau pun Alfamart, justru belum ada saya dapatkan para penagih parkiran yang siap sedia untuk menagih iuran parkir. Nah, mau berapa kali pun berkunjung ke Alfamidi atau Alfamart, para penagih parkiran pun tetap tidak akan muncul juga.
Beda halnya dengan pasar tradisional, justru sebaliknya tidak ada tempat parkir kalau tidak ada para penjaga parkir menunggu yang siap untuk menagih. Baik dari model yang legal bahkan ilegal pun juga ada. Makanya, kalau tidak mau bayar parkir maka janganlah sekali-kali berkunjung ke pasar tradisional.
Kira-kira ada apa ya? Justru kalau dipikir mestinya Alfamidi juga ada penjaga parkirnya, karena tempat tersebut juga akan berpotensi besar menjadi penghasilan dari iuran parkiran. Apalagi, para pengunjungnya kebanyakan dari orang-orang kaya, maka tentu uang 2000-an jelas mereka tidak ia rasakan.
Namun, masyarakat golongan bawah tidak seperti itu, uang 2000 bukan perkara mudah untuk mendapatkannya, butuh perjuangan dan kerja keras. Makanya sangat disayangkan kalau sering berkunjung ke pasar tetapi selalu dimintai juga membayar iuran. Seakan ada indikasi bahwa pusat perbelanjaan orang golongan bawah selalu dimintai bayar parkiran, sedangkan pusat belanja orang kaya justru tidak membayar.
Jadi, kalau dipikir mestinya pusat perbelanjaan orang kayalah yang banyak membayar iuran parkiran. Mereka kan banyak uang, dan kalau masalah bayar parkiran tentu bukan masalah sulit baginya.
Kondisi demikian jelas memperlemah masyarakat, karena bisa saja terjadi proses eksploitasi dan kapitalisasi dan berujung dampaknya kepada masyarakat lemah. Sudah lemah lalu ditindas lagi, sudah sedikit uang terus juga dimintai bayar iuran parkiran. Gimana sih keberpihakan pemerintah, apakah mereka memang sengaja sembunyi dibalik pintu demokrasi, lalu kesejahteraan masyarakat justru sering dipropagandakan. Iya, sebenarnya sih ini masalah sepeleh dan sederhana, tetapi dampaknya itu lho yang bisa besar.
Oleh karena itu, Alfamidi atau pun Alfamart mestinya juga dijadikannya tempat bayar parkir seperti di pasar-pasar tradisional. Kebanyakan mereka yang berkunjung kan orang-orang kaya, dan mastinya itulah yang menjadi sasaran utama untuk membayar iuran parkiran. Atau memang begitukah kodratnya, orang kaya selalu dilonggarkan hidupnya dengan aturan-aturan pemerintah.
Comments