Memotong buntut sapi dan membiarkan tubuhnya menjadi bangkai, barang kali istilah itu yang mampu kita lihat di zaman sekarang yang mana jumlah story bejibun di berbagai platform medsos. Dimana hamba-hamba sosial media sibuk memotong kutipan kalimat seorang tokoh, kata-kata bijak di buku, di media yang sesuai dengan keadaan psikologisnya saat ini untuk story-nya, akan tetapi membiarkan beribu-ribu kalimat lain yang harusnya menjadi satu kesatuan pengetahuan yang kompleks.
Manusia dan potongan-potongan status sosial media merupakan dua sejoli yang tak bisa dipisahkan abad ini, sadar atau tidak sosial media menjadi alat untuk lebih mudah memamerkan dan menutup-nutupi sesuatu. Dalam satu contoh, seseorang pergi berwisata atau sedang melakukan suatu acara, ia mengutip kalimat A. Einsten, “Hidup ini seperti mengendarai sepeda, untuk menjaga keseimbangan kita harus tetap mengayuh”, yang di sisi lain sebenarnya ia tak mengerti sama sekali apa maksud kalimat itu, namun ketika kalimat itu muncul dari seorang tokoh dan dikutip banyak orang, itu pasti tak sembarangan.
Sejatinya kita perlu belajar “membaca” lebih dari kata-kata yang masuk di kepala lalu keluar begitu saja. Pemahaman, perenungan dan tindakan baik merupakan aplikasi dari membaca, kita tidak bisa hidup melalui kata-kata bijak, kutipan tokoh atau narasi yang indah saja. Seperti kata A. Einsten, bergerak/action itulah yang sejatinya ialah cara memunculkan dan menjaga keseimbangan hidup, antara mimpi dan tujuan yang akan kita raih.
Apa gunanya jika beratus-ratus status/story bijak kita buat tapi kita selalu tidur, malas, acuh, buang-buang waktu dan hanya berhalusinasi saja?
Terlepas dari hal-hal positif yang bisa dimanfaatkan dari status sosial media, pahamilah bahwa motivasi adalah dorongan yang berasal dari diri sendiri untuk mencapai tujuan tertentu (faktor internal), sementara pengaruh lingkungan atau orang lain merupakan (Faktor eksternal) yang biasa disebut inspirasi.
Di balik status sosial media itu pula sebenarnya seseorang ingin mengabarkan pada semua orang bahwa, “Ini loh! saya sedang di sini, ini gaya saya, ini kelebihan saya, saya berhasil sampai sini, ini kesibukan saya dan sebagainya. Ayo lihatlah saya, berilah saya pujian” ketika mengirim sebuah status di media.
Dewasa ini orang-orang menjadi lebih dermawan, dengan sukarela menghabiskan uang makan demi segelas minuman mahal namun dengan fasilitas foto indah dan rating viral yang sedang tinggi-tingginya. Entah sadar atau tidak, hal-hal di luar lingkar kehidupan kita (sosial media) yang harusnya tak berperan apa-apa atau tepatnya sekedar keinginan sampingan/alat bantu kini menjadi kebutuhan pokok manusia.
Menjadi acuan hidup dan sekedar ikut-ikutan saja karena sesamanya sudah punya. Lalu apakah kita terus menipu orang lain bahkan diri sendiri dengan kemunafikan yang sering terjadi di status/story kita sendiri. Terakhir saya punya pertanyaan, adakah alasan kenapa jumlah story lebih dari lima kali sehari? Melebihi sholat wajib kita kan?
Editor: Nawa
Gambar: Kompas
Comments