Sebelum saya membahas mengapa ketakutan menjadi perawan tua adalah hal yang wajar, saya mau sedikit bercerita tentang pengalaman saya saat dulu masih SMK. Perbincangan anak-anak SMK atau SMA yang rata-rata sudah menginjak usia remaja menuju dewasa memang bernuansa serius, realistis, dan “dewasa”. Pernah suatu hari teman saya bertanya kapan saya berencana untuk menikah. Dengan mantap dan tegas lantas kemudian saya jawab “Sekitar umur dua lima-an, aku masih mau sekolah sampai S2 hehe.” Mendengar itu, teman saya tertawa dan sedikit kaget. Kemudian memberikan tanggapannya tentang perawan tua dan jangan menjadi perempuan yang terlalu pintar.
Dalam hati saya merasa miris. Maksudnya, sekarang kita hidup di abad ke-21. Mengapa masih ada perempuan yang berpikiran demikian? Bagaimana mau memajukan peradaban kalau wanitanya saja tidak berpendidikan? Toh, wanita seharusnya diberikan kebebasan untuk merancang kehidupannya sendiri dan punya otoritas penuh untuk mengejar kesuksesan yang dia impikan. Lagipula usia dua puluh lima tahun belum bisa dikatakan tua kan?
Saya benar-benar tidak percaya bahwa teman saya memiliki pola pikir seperti itu. Namun, saya tidak bisa menyalahkan dia sepenuhnya. Saya mengerti latar belakang sosial-budaya teman saya.
Saat ini, tentu kita semua sudah terbiasa mendengar narasi-narasi bernada women empowerment seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Kehidupan sosial sudah mengalami kemajuan yang pesat sebab perempuan sudah mulai melepaskan kerangkeng stigma yang merekonstruksi kehidupannya. Saat ini, ramai orang membicarakan kesetaraan gender, hak-hak wanita, dan diskriminasi terhadap perempuan. Akan tetapi, topik-topik ini sampai sekarang masih saja menuai perdebatan dan wacana yang masih didiskusikan tanpa hasil akhir yang belum ditemukan titik temunya. Itulah seni dan corak social science. Oleh karena itu, kita harus melihat fenomena sosial dalam kacamata sains, termasuk dalam menanggapi fenomena perawan tua.
Banyak naturalis yang mengatakan bahwa manusia adalah bentuk ekstensi dari hewan. Bahkan tak sedikit yang menyebutkan kalau manusia adalah hewan sosial. Jadi, sebagai spesies yang mempunyai naluri untuk bertahan hidup, maka kegiatan kawin-mawin merupakan suatu kebutuhan. Itulah sebabnya kita mempunyai insting ketertarikan secara romantis ataupun seksual.
Ada sebuah studi yang menunjukkan perbandingan usia subur laki-laki dan perempuan yang dilansir dari British Fertility Society.
Dari grafik di atas, bisa dilihat bahwa tingkat kesuburan perempuan akan menurun secara signifikan dari awal usia 30-an sampai 40-an. Sedangkan untuk laki-laki, tingkat kesuburannya akan mulai untuk menurun pelan di usia 45 tahun ke atas. Saya yakin, pasti banyak yang beranggapan kalau menikah tidak hanya ditujukan untuk memiliki anak. Malah sekarang sedang marak orang-orang yang tidak mau mempunyai anak di dalam ikatan perkawinan. Akan tetapi, masalahnya di sini adalah kondisi biologis manusia tentang kesuburan mempunyai peran penting dalam memengaruhi insting kita dalam ketertarikan.
Manusia memang akan cenderung tertarik kepada yang subur secara biologis. Oleh karena itu, kita sering menjumpai kasus di mana lelaki yang berusia matang menikahi gadis belia yang usianya terpaut sangat jauh. Kondisi prima seorang pria itu berada pada rentang usia 20-46 tahun. Jadi secara instingtif, lelaki akan lebih tertarik kepada perempuan yang berusia 20-30 tahun.
Kita mengerti sekarang bahwa menjadi perawan tua bukan hanya persoalan murni konstruksi sosial, tetapi kondisi biologis juga. Akan tetapi, ini sama sekali tidak berarti bahwa wanita yang melajang di usia matang tidak akan menemui jodohnya. Itu hanya kecenderungan secara umum. Sebagai perempuan, kita tetap tidak boleh down-grade diri kita. Tetap fokus meningkatkan kualitas diri, tetap harus mempunyai filter yang ketat saat menyeleksi calon pasangan, dan teruslah membuat diri bersinar. Supaya perempuan bisa mendapatkan pasangan yang ideal dan optimal.
Saya hanya ingin menyampaikan bahwa menyelaraskan kalimat-kalimat women-empowering dengan kenyataan empiris itu penting. Supaya perempuan tidak salah dalam mengambil keputusan di dalam hidup, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis.
Editor: Ciqa
Gambar: Pexels
Comments