Milenialis, pernah nggak sih kebayang punya teman seorang begal? Seru lho, nggak lho guyon.
Ini pengalaman pribadi saya punya teman seorang begal, cerita begal ini bermula sekira tahun 2017 ketika saya bekerja di sebuah restoran di kawasan MH. Thamrin Jakarta Pusat. Namanya Adi (bukan nama sebenarnya), teman-teman satu kerjaan biasa memanggilnya Kempong. Entah dari mana nama itu menjadi beken di lingkungan kerja, seingat saya ia sendiri yang meminta dipanggil demikian. Kempong ini bekerja satu restoran dengan saya, hanya saja saya di bagian dapur, dan ia di bagian floor.
Selaras dengan judul tulisan ini, menjadi waiter restoran hanyalah profesi sampingan bagi seorang kempong, profesi utamanya ya mbegal. Tau begal toh? Begal literally begal. Kalau ditanya kenapa ia nyambi bekerja di restoran, paling-paling ia akan menjawab, “biar tetangga nggak curiga.”
Kalau bicara soal penghasilan, berdasarkan penuturannya menjadi begal lebih cuan lho timbang bekerja di restoran. Bagaimana tidak? Sekali operasi ia bisa menghasilkan satu motor yang bakal ia jual dengan harga 4 sampai 5 jutaan. Belum lagi kadang handphone, sepeda dan sebagainya. Eitss, tapi tolong teman-teman jangan termotivasi ya, saya bukan lagi memotivasi layaknya Merry Riana apalagi Mario Teguh, bukan sama sekali.
Cukup sekian untuk sesi perkenalannya, saya akan menceritakan bagaimana ia memanajemen waktunya untuk menjalani dua profesi sekaligus. Sepanjang pengetahuan saya, kempong menggunakan waktu pagi sampai siang untuk beristirahat, kemudian pada jam empat sore ia berangkat bekerja di restoran, sama seperti saya dan teman-teman lainnya. Biasanya kami selalu rutin pulang di jam satu dini hari, tapi berbeda dengan Kempong, saban dua hari sekali hampir dipastikan ia tidak langsung pulang, dua atau tiga rekan begalnya sudah menunggu di sisi jalan. Di waktu-waktu seperti itu, kami akan mengerti kalau dia hendak beroperasi. Biasanya saya cuma berbisik pelan, “awas lho targetmu jangan dibacok.” Dan ia akan selalu menjawab dengan jawaban yang sama, “Kalau nggak ngelawan bakal selamat.”
Entah apa yang mendasari dirinya menekuni profesi itu, kadang-kadang di sela pekerjaannya di restoran, ia tak sungkan bercerita kalau ia juga pengen berhenti mbegal. Teman mana yang tak senang mendengar kabar demikian? Saya akan senang hati menasehati sampai mulut berbuih sekalipun. Pada keesokannya, tetap ia beroperasi lagi. Hmm
Pernah suatu siang, ia menelepon saya menanyakan keberadaan saya di kontrakan apa tidak. Benar saja, nggak lama kemudian ia datang ke kontrakan saya bersama rekan-rekannya membawa sepeda.
“Jangan bilang lu kesini mau ngumpetin sepeda.”
“Nggak kok ki, ini sepeda gue, ngambil di rumah orang. Haha”
Jiancokk. Seketika saya keringat dingin. Kan nggak lucu kalo tiba-tiba saya ditangkap atas tuduhan menjadi penadah. Namun, meskipun perasaan saya sangat cemas, muka saya harus tetap happy kiyowo. Saya akan menjelaskan dan meminta pengertian kalau pertemanan kita sebatas relasi kerja, tidak lebih. Maka ia akan sangat mengerti dan memaklumi lantas pergi.
Berteman dengan orang ini, membuat saya memiliki pengalaman tersendiri, ya meskipun macam cerita begal ini. Ya kadang gregetan, kadang takut jadi korban, tak jarang pula menyenangkan. Sayangnya, pertemanan kita harus berakhir ketika saya memutuskan resign dari mbegal. Eh anu, resign dari restoran. Sebagai orang yang pernah menjadi teman, saya sangat berharap ia berhenti dari profesinya yang merugikan orang. Sampai tulisan ini dibuat, baru-baru ini ia mengabari kalau enam bulan lagi dirinya akan bebas dari Rutan Salemba. Rupanya, ia divonis penjara selama 2 tahun setelah kasusnya yang viral membegal petugas PPSU Cempaka Putih, 26 Februari 2020 dini hari. Sekian cerita begal membegal kali ini.
Editor: Ciqa
Gambar: Pexels
Comments