Saya mengenalnya dari sahabat saya, seorang ibu pemilik galeri batik di kota tempat saya tinggal saat ini, Bukittinggi. Yudha Wibisono namanya. Blio anak pertama sahabat saya itu, yang sudah sebelas tahun menetap di Yogyakarta. Usianya baru 29 tahun. Namun pemikiran-pemikirannya solid membentuk idealisme, terkait profesinya sebagai sutradara film-film ‘minor’, serta pengajar film kampus swasta di kota Yogya. Seperti “falsafah”nya tentang pemutaran film di bioskop berikut ini.
“Film yang diputar di bioskop itu seharusnya bisa menjadi milik publik. Gedung bioskopnya sendiri terletak di ruang publik, kan? Tapi mengapa menonton film jadi terkesan eksklusif?” ujarnya pada perjumpaan kami kala itu.
“Mengapa? Apakah karena nonton film di bioskop menuntut kompensasi berlembar-lembar uang kertas?” Saya penasaran.
“Salah satunya itu. Apakah uang senilai, katakanlah, 35 ribu rupiah bisa menyentuh kalangan grassroot? Mereka nggak pernah ke bioskop, nggak pernah ke mall, tapi pengin nonton film. Baru melihat gedungnya saja sudah langsung mikir ‘wah tempatnya bagus sekali, pasti mahal’.”
“Seandainya ada program nonton gratis setiap hari tertentu, apakah itu bisa berarti film sudah menjadi milik publik?” tanya saya.
“Sebenarnya nggak harus gratis juga. Pembuat film kan harus diapresiasi. Demikian juga dengan pihak-pihak yang niatnya komersil. Mungkin harga tiketnya yang dikurangi, sehingga terjangkau kalangan bawah. Yang jadi pertanyaan juga, mengapa tempat pemutaran film harus dibuat se-eksklusif itu? Mengapa film tidak bisa diputar di ruang-ruang masyarakat? Di balai desa, misalnya. Ya boleh saja membayar lima atau sepuluh ribu rupiah. Tapi ‘ketakutan’ bahwa ruang itu menjadi eksklusif, sudah tidak ada lagi.” kata Yudha.
Berlatar belakang hal tersebut, Yudha kemudian memprakarsai pemutaran film di desa-desa. Tiga tahun belakangan ini, blio dan teman-temannya berkeliling desa seputaran Jawa Tengah dan Jawa Timur. Konsepnya sendiri seperti layar tancap. Film diputar melalui proyektor yang “ditembakkan” ke bentangan kain putih. Pertunjukan ini dinamakan “Layar Wage”, karena pemutaran film dilakukan setiap malam Wage dalam penanggalan Jawa.
Biasanya, Layar Wage diadakan di lapangan. Target penontonnya memang masyarakat desa. Pemuda dan pemudi Karang Taruna, Pak Kades beserta keluarga dan perangkat desanya, ibu-ibu, bapak-bapak, atau bocah-bocah ingusan yang pulang mengaji. Suatu waktu, Layar Wage malah ditonton pak tani yang masih menarik kebo-nya. Lain kesempatan, penonton yang datang adalah ibu-ibu yang nyambi marut kelapa, atau mritili cabe.
Untuk menonton Layar Wage, warga desa ditarik iuran minimal lima ribu rupiah per kepala. Biaya itu hanya sekedar apresiasi untuk pembuat film. Kalau tiba-tiba Pak Kades kasih dua puluh ribu rupiah, ya diterima. Pokoknya nggak kurang dari lima ribu rupiah.
Penetapan biaya lima ribu rupiah itu sendiri berdasarkan hasil survey kecil-kecilan yang dilakukannya kepada bocah-bocah desa. Rata-rata para bocah itu dibekali orang tuanya uang lima ribu rupiah setiap pergi mengaji. Uang itu bisa mereka pergunakan untuk jajan telur gulung tiga ribu rupiah, dan minuman Jasjus dua ribu rupiah.
Walaupun demikian, masih ada juga yang datang menonton dan tidak membayar. Biasanya sih dibiarkan saja, tidak ditagih. Kadang ada juga yang maunya “membayar” dengan menyediakan teh manis atau kacang rebus. Ya nggak apa-apa.
Suasana Layar Wage sendiri memang dibuat sangat santai. Penonton datang, bayar lima ribu rupiah ke pemuda ‘ticketing’, terus ngambil kacang rebus dan mengisi gelas plastik dengan teh manis. Kalau cemilan habis terus mau nambah lagi, ya silahkan saja.
“Dengan suasana santai dan penonton seperti pak tani yang menggeret kerbaunya, jenis film apa yang diputar di Layar Wage?” tanya saya, sambil membayangkan film-film hiburan ala Warkop, AADC, atau bahkan Suzanna terpampang di layar putih. Ternyata, saya salah besar.
Layar Wage memutar dua film indie dalam setiap pertunjukan. Bukan film komersial. Durasinya sekitar sepuluh atau lima belas menit. Film pertama biasanya bertema surealis, sementara film kedua lebih fiksi-dramatik.
Saya tidak bisa menutupi keheranan saya membayangkan warga desa disuguhi film surealis. Saya sendiri nyerah kalau harus nonton film jenis ini. Mohon maaf kalau saya tidak bisa membayangkan bagaimana apresiasi warga desa terhadap film jenis ini. Tapi cerita Yudha berikutnya tidak cuma mematahkan keragu-raguan itu, tapi juga menyampaikan suatu hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Pertunjukan Layar Wage tidak sekedar memutar film saja. Ada diskusi setelahnya. Dan di sesi diskusi ini, warga desa banyak merespon untuk hal-hal yang sangat orisinal, nggak kepikiran bakal ditanyakan, dan cenderung “mengerikan”.
Seperti suatu saat diputar film pendek berjudul Rana. Film ini diakui Yudha memang membingungkan. Tidak ada objek manusia di dalamnya. Semua objeknya berupa cermin yang diposisikan sedemikian rupa. Pada saat diskusi ternyata yang ditanyakan bukannya ‘kenapa nggak ada manusianya di film’, tapi ‘berarti cermin yang satu dengan cermin yang lain saling memantulkan dirinya masing-masing ya mas? Kalau cermin itu adalah manusia, berarti manusia itu harus bisa berkaca pada diri orang lain ya?’
“Lah, saya saja nggak kepikiran sampai situ,” seloroh Yudha.
“Yang nanya itu siapa?” Saya makin kepo.
“Ibu-ibu, usia 50-an.” tegasnya.
Eh buseeet…!
Momen diskusi ini sebenarnya diharapkan tidak hanya mengedukasi, tapi juga menjadi ‘ruang tumbuh’ bagi penonton kedepannya. Ada misi untuk menumbuhkan keinginan orang tidak sekedar menonton film, tapi berkembangnya impian menjadi pembuat film, atau aktor. Pertanyaan-pertanyaan seperti ‘bagaimana cara membuat film seperti itu’, oleh Yudha dan teman-teman direspon dengan memberikan pelatihan singkat tentang sinematografi sederhana kepada warga desa.
“Bayar nggak?” tanya saya.
“Sepuluh ribu per orang.” jawabnya.
Eh, gimana gimana? Sepuluh ribu untuk belajar bikin film?
Pada akhirnya, kelas film ‘sepuluh ribu rupiah’ ini justru bisa memberikan keuntungan ekonomis bagi murid-muridnya, yaitu para pemuda desa. Dari kursus singkat tersebut, ada murid blio yang sudah bisa membuatkan video persentasinya Pak RT ke Pak Lurah. Bahkan ada yang sudah dipercaya membuat materi video promo untuk lima outlet minuman boba.
Di desa lain, ‘kelas singkat’ ini juga sudah menghidupi para pemuda desa yang menganggur. Melalui Karang Taruna, mereka berjualan produk celana kain dan membuat video promosinya sendiri. Hasilnya sekarang malah mereka bisa memiliki lapangan bola untuk disewakan, dan membeli empat atau lima komputer baru untuk Karang Taruna.
Jelas sudah, menonton film di Layar Wage nggak cuma sekedar nonton bareng kebo!
Sayangnya, setahun terakhir pagelaran Layar Wage untuk sementara dihentikan, karena wabah Covid-19 yang mulai menggila. Saat itu, warga desa enggan keluar rumah. Pak Kades pun belum tentu kasih ijin keramaian. Terpaksa ‘tutup layar’ dulu, menunggu pandemi ini usai.
Editor : Hiz
Foto : Republika
Comments