Ada yang pernah mendengar puisi Do’a Makam?
Barangkali benar, puisi adalah apa yang mewakili keadaan batin sorang penyair. Melalui sebuah puisi, penyair bebas mengekspresikan segala-gala rasa dari dalam kepala sampai ujung bayangan tubuhnya. Terlebih, di dalam sebuah puisi, kata-kata bisa menjadi sebuah bangunan indah yang mungkin saja terbuat dari bahan baku kerinduan, kekacauan, serta kegelisahan atas segala yang ingin dituangkan melalui jari-jemarinya.
Sebuah puisi tentu memiliki kekhasan dari tiap-tiap penyair yang meramunya. Begitu pula puisi dan sajak kepunyaan Bahrum Rangkuti, seorang penyair kelahiran Pulau Tagor, Galang, Sumatera Timur, pada 7 Agustus 1919. Siapa pun yang melahap puisi dan sajak kepunyaan Bahrum, pasti akan sangat lekat mencium wangi religiositas dari—hampir—tiap karyanya. Hal ini tidak lain karena Bahrum memiliki kegemaran yang intim dalam mempelajari agama dan filsafat kebudayaan.
Melalui keintimannya tersebut, lahirlah beberapa karya Bahrum Rangkuti dalam bentuk sajak dan puisi, salah satunya adalah puisi berjudul Do’a Makam. Puisi Do’a Makam ini merupakan salah satu dari banyaknya karya Bahrum Rangkuti yang berbau agamis. Kekhasannya tercitra jelas sekali dalam puisi ini, yaitu, ramuan kata demi kata yang tersusun ketika—seolah-olah—Bahrum sedang bercinta dengan Tuhan.
Adapun, teks dari puisi Do’a Makam adalah berikut:
Do’a Makam
(Karya: Bahrum Rangkuti)
Dilindung bayang gantungan dahan
baringan dinda hening tenang
bunga kemboja di tahan abang
bayu senja sepoi perlahan
Pandang pilu ‘nembusi dalam
basah gemetar hamparan melati
suara Qur’an di dekat pualam
kian seni sendu di hati
perlahan hilang warna hijau
dunia dan langit mengendus sunyi
kenang melayang ke alam rohani
tenang malam membelai jiwa
mengalun suara samar sepoi
dari bintang jauh kemilau
Panca Raya, Th. I No. 24, 1 Nop. 1946.
Membincang Do’a Makam, maka artinya, membicarakan pula hal-hal yang tersirat di dalamnya. Karena sebuah puisi, pastilah memiliki ahwal yang perlu dikaji. Maka dari itu, mengkaji puisi Do’a Makam karya Bahrum Rangkuti, boleh jadi merupakan sebuah bentuk peribadatan yang nantinya bisa bermanfaat bagi pengkaji atau bahkan sekadar penikmat puisi Bahrum Rangkuti di luar sana.
Mengkaji puisi Do’a Makam tidak lain memiliki tujuan untuk dapat mengetahui lebih dalam lagi terkait beberapa gagasan inti berupa tema, makna, nada, serta amanat yang disampaikan oleh Bahrum Rangkuti di dalamnya. Menguraikan tema dari proses pengumpulan makna di setiap nada dalam puisi bisa menghasilkan sebuah simpulan berbentuk pesan/amanat. Maka dari itu, gagasan inti yang dikaji dalam puisi Do’a Makam ini akan menghasilkan poin-poin penting yang mungkin tidak ditemukan secara tersurat dalam teks puisi tersebut.
Berangkat dari keputusan Bahrum memilih kepala puisinya dengan judul Do’a Makam, tergambar jelas bahwa isi dari puisi ini akan menyampaikan bagaimana seorang Bahrum menziarahi sebuah pusara dengan kata-kata. Pemilihan diksi “doa makam” sarat akan sebuah makna kontemplasi dan negosiasi dengan Tuhan. Dari judul, Bahrum seolah meminta sekaligus menguapkan kerinduan kepada yang dimakamkan kepada sang empunya makam.
Dibuka dengan bait pertama, Bahrum memberikan gambaran bagaimana seorang hamba menyaksikan kekasihnya berbaring di bawah pusara yang dipenuhi taburan bunga kamboja. Makam yang masih basah dan merah tanahnya, terlindung oleh pepohonan yang rindang. Selain itu, Bahrum pun menggambarkan bagaimana seorang hamba menemani sang kekasih dimakamkan dengan berkawan hembusan angin hingga langit berubah kemerahan.
Beranjak pada bait kedua, Bahrum memberikan gambaran tentang seorang hamba yang tidak putus-putus mencoba melihat kekasihnya yang ditindih tanah kubur. Di bawah sekumpulan melati yang belum mengering, dilantuni bunyi ayat Al-Qur’an dari mulutnya, lalu diusapkan ayat demi ayat tersebut pada nisan sang kekasih. Dengan begitu, semakin terasa dukacita yang tersimpan di hatinya.
Sedang, pada bait ketiga, Bahrum menyampaikan kesedihan seorang hamba yang secara pelan-pelan semakin merasa kehilangan. Seorang kekasih yang di hidupnya terasa memberi kesegaran, ketika sudah berada di bawah tanah, lambat laun justru terasa seperti mengundang kematian. Namun, Bahrum menyampaikan pula, bahwa dengan kematian kekasih, cukuplah rindu itu disimpan dan dikenang dalam hati.
Diakhiri dengan bait keempat, Bahrum menutup perjalanan seorang hamba dalam menziarahi kekasihnya dengan perasaan tenang yang amat penuh. Seolah hanya dengan sebutir keikhlasan, seorang hamba yang tengah kehilangan kekasih, bisa mendapatkan sebuah kedamaian. Jika kedamaian dari keikhlasan itu sudah hadir, cahaya cinta dari Tuhan seperti menghampiri dan memeluk kehampaannya. Karena kecintaan seorang hamba kepada sesama hamba, tidak boleh lebih besar daripada kecintaan kepada Tuhannya.
Dari proses pemaknaan tiap bait, disimpulkan bahwa tema yang diangkat oleh Bahrum Rangkuti dalam puisi Do’a Makam adalah mengenai religiositas seorang hamba yang berdoa di hadapan pusara sang kekasih. Sedangkan, pesan/amanat yang ingin disampaikan oleh Bahrum Rangkuti dalam puisi Do’a Makam adalah tidak ada keabadian dalam mencintai sesama hamba, maka dari itu mestilah seorang hamba menempatkan kecintaan terhadap Tuhannya di atas kecintaannya pada yang lain. Karena kecintaan pada Tuhan, akan memberikan kedamaian serta ketenangan batin dalam hidup. Nada atau tone yang terdapat dalam puisi Do’a Makam ini berupa kesedihan, rasa kehilangan, kehampaan, serta kedamaian yang tergambar dari tiap larik dalam tiap bait yang disusun oleh Bahrum.
Jika ditelisik, dalam puisi ini, antar bait tentunya memiliki kepaduan dan keselarasan yang menyiratkan kesedihan dan juga rasa kehilangan yang amat mendalam. Namun lebih dari kehilangan, pada puisi Do’a Makam ini, Bahrum memberikan sebuah pengharapan yang menghidupkan seorang hamba yang tengah diliputi kesedihan karena kehilangan seorang kekasih. Bahwa manusia mungkin bisa hidup tanpa makan dan minum, tapi tak sedetik lun manusia (hamba) dapat bertahan hidup tanpa sebuah pengharapan. Dan pengharapan yang tak akan mengecewakan adalah pengharapan pada Tuhan.
Comments