Beberapa hari ini, nuansa lebaran yang sebelumnya hilang kembali terasa. Seperti beberapa orang yang berbondong-bondong mudik, beberapa yang sibuk membuat jajanan lebaran, hingga hal-hal lainnya yang tentunya juga menyangkut lebaran. Hiruk-pikuk aktivitas Ramadan dan persiapan untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri ini dapat diamati secara langsung ataupun dengan mengamati story-story dari sosial media.

Barangkali ada setiap harinya saya ketika sengaja atau tidak sengaja membuka instastory Instagram hingga WhatsApp isinya kebanyakan orang-orang yang memamerkan menu berbukanya, memperlihatkan jajanan lebaran yang dibelinya, hampers yang diperolehnya, hingga quotes-quotes atau potongan hadis seputar Ramadhan atau hari raya idul Fitri. Fenomena yang senantiasa dirindukan tiap tahunnya oleh kaum muslimin. Namun, meski demikian tak jarang saya menemui fenomena janggal yang kadang membuat otak harus berfikir, “lha kok gini?”.

Lomba Pamer THR

Salah satu fenomena yang membuat otak saya berfikir dan tentu lantas menjadi atensi saya untuk menuliskan artikel ini adalah ketika tak sengaja saya melihat instastory beberapa orang seputar THR Lebaran. Beberapa orang yang dengan bahagianya memamerkan kiriman THR (entah itu dari saudara, teman, kerabat, pacar, atau apalah mereka memanggil dan menamainya).

Ada juga orang yang mengirim kata-kata perkara THR, seperti tulisan di story’ yang mengajarkan bahwa stop melatih anak menjadi seorang peminta-minta yang suka menodong THR ke saudaranya. Ada pula yang membuat instastory mengenai patokan THR, aish… bukan! Lebih tepatnya disebut standar sangu untuk lebaran. Atensi yang akan saya bahas dalam artikel ini jatuh pada instastory terakhir, yakni perihal patokan nilai pemberian uang sangu (bisa juga dikatakan THR) lebaran. Banyak sekali orang, tentu dari beragam wilayah juga yang lantas memajang foto yang keterangannya ialah standar sangu/THR hari raya dalam storynya di media sosial. Foto itu menampilkan mengenai besaran uang yang bisa diberikan, seperti untuk saudara dekat dengan usia sekian diberi sekian, saudara jauh dengan usia sekian diberi sekian, dan seterusnya. 

Ternyata Ada yang Kurang Tepat

Story’ itu seketika membuat saya terdiam membacanya, awalnya saya merasa menggelitik. “Ah, bisa saja”  begitu batinku sembari tersenyum. Namun, ketika saya melihat tak hanya satu dua orang yang membuat story’ demikian itu saya jadi berpikir apakah ini hanya sekadar candaan yang dianggap lucu olehh sebagian orang yang memasangnya? Lantas bagaimana kalau ini ternyata ada yang menerapkannya dan menganggap ini perkara serius. Mendadak saya berpikir, tidak salah! Tentu tidak salah apabila mereka memasang story’ itu, toh barangkali mereka hanya bercanda. Saya merasa tidak mungkin pula semua anak manusia akan menerapkan standar itu, kalau satu dua tentu itu beda lagi. 

Saya juga berpikir, lebih daripada sebelumnya. Ketika orang-orang memajang story’ itu, apakah itu hanya sekadar ikut-ikutan atau nyatanya benar dari nuraninya akan menerapkan hal demikian? Apapun itu saya mendadak menjadi merasa janggal. Begini, pertama bukankah memberi sangu atau uang kepada sanak-saudara ketika lebaran itu, adalah manifestasi dari kita sebagai anak manusia yang berada dalam naungan agama yang Rahmatan Lil Alamin dan sedang berada pada posisi mampu untuk saling berbagi terhadap sesama?

Kedua, bukankah memberi itu adalah perkara keikhlasan dalam hati? Kalau sedang ada rezeki berbagilah, kalau sedang tidak ada tidak perlu memaksa. Begitu bukan? Lantas, bukankah memberi itu sebagaimana nurani kita ikhlas ingin memberikan, berapapun dan untuk siapapun itu. Kalau iya demikian, lantas kenapa kita harus menciptakan bahkan menyebarkan patokan sangu atau uang yang diberikan ketika lebaran?

Mengurangi Keikhlasan Bersedekah

Entah apakah maksudnya sekadar bercanda atau akan diterapkan secara sungguh-sungguh. Saya rasa, apabila benar hal ini mesti diterapkan, sungguh ini tidak tepat dan menghapuskan eksistensi daripada bersedekah. Sebab, dalam Islam sendiri kita telah diajarkan bahwa bersedekah dengan ikhlas. Tanpa harus terpatok berapa? Tentu hal ini juga mengikuti bagaimana kemampuan diri kita. Sehingga poin pentingnya disini adalah sedekah itu harus didasarkan pada keikhlasan dan sukarela.

Ketika kita punya harta melimpah, sedekahkanlah sebagian hartamu itu, ketika kita punya ilmu sedekahkanlah ilmu itu agar senantiasa mengalir dan bermanfaat pada sesama,  bahkan bila kita masih sulit dan kesulitan, senyum itu sendiri sejatinya adalah sedekah. Sebagaimana Hadis Riwayat Tirmidzi no. 1957 yang berbunyi demikian, “senyum di depan saudaramu adalah sedekah bagimu.” Sedekah itu memang tidak wajib.

Tiga Pahala yang Tidak akan Terputus

Namun, sangat dianjurkan. Sebab, ketika kita mati nanti segala hal duniawi akan terputus kecuali tiga perkara, salah satunya adalah sadaqah jariyah. Itulah sebabnya saling memberi pada saat menjelang atau ketika hari raya banyak dimanfaatkan sebagai momen, terlepas dari alasan apapun, berbuat baik di bulan baik ini, tentu akan menambahkan pahala karena pahala kebaikan akan dilipatgandakan.

Apakah THR Harus Ada Patokan?

Lantas, apakah THR, sangu, pemberian uang, dan semacamnya ketika lebaran atau Idul Fitri harus diberi patokan? Saya rasa dan secara tegas mengatakan tidak! Dalam agama saja kita tidak dipaksakan atau dilarang mau bersedekah berapapun. Lantas, kenapa sebagai manusia kita harus membuat patokan-patokan demikian? Demi keadilan? Kalau benar demikian alasannya, apakah parameternya? Uang Rp. 50.000 barangkali baru konglomerat tidak terlalu berat, tapi bagi yang melarat ini tentu sangat berat. Maka, semestinya berikanlah sesuai porsi kemampuan diri masing-masing, kalau yang kaya dan mampu ingin memberikan lebih? Silahkan. Kalau yang cukup silahkan beri yang secukupnya, dan seterusnya. Sebab, niat baik dalam hatilah yang sejatinya akan dinilai. Buka. Sekadar besar atau kecil yang dipaksakan. 

Lagipula apa gunanya men-share hal demikian? Sebagai lucu-lucuan? Atau biar orang lain paham, ini lho tarifnya? Sungguh miris, ketika nyatanya beberapa memasang tarif-tarif demikian di story’nya yang entah dapatnya dari mana. Kemudian tersebar dan saling ikut-ikutan memasang tanpa menelaah harkat dan manfaatnya apa? Bukankah penting bagi kita berfikir cerdas dan menjaring, apakah ini penting ya? Apakah ini baik ya? Dan semacamnya, entahlah.

Barangkali memang demikianlah sifat kita sebagai manusiawi yang tidak luput dari hal-hal naif yang kadang lucu dan membingungkan, entah itu anda, ataupun saya, kita. Hidup itu sejatinya memang sederhana, simpel. Hanya kita saja sebagai manusia yang memperumitnya dengan beribu aturan dan hal-hal yang dimustikan dan semacamnya, kadang memang demikian, kita harus berumit-rumit ria sebagai manusia. Namun, hal yang simpel kenapa musti dibuat rumit? Seperti nilai besaran sedekah yang harus kita berikan ketika hari raya. wallahu a’lam bishawab. 

Editor : Faiz

Gambar : Google