Selain emak-emak yang sering kali ‘ucapannya’ menghianati perbuatan, dengan menyalakan lampu sein ke kiri namun berbelok tajam ke kanan, ada satu lagi spesies pengendara motor yang sangat mengancam ketertiban, keamanan, dan kedamaian dunia. Merekalah golongan sesat yang selalu micek dan mbudeg ketika menyeberang atau putar balik arah kendaraan.
Kelompok yang satu ini nggak mesti ibu-ibu, malahan lebih sering laki-laki sok yes yang pura-pura nggak tahu kondisi keramaian jalan. Beberapa jenis yang saya temui memiliki usia yang beragam. Ada anak muda yang nggak muda-muda amat, terlihat kusam dan kusut air mukanya, persis mahasiswa tingkat akhir yang bulan depan tinggal nunggu di-DO. Ada juga bapak-bapak paruh baya bertubuh gempal dan cenderung kelebihan berat badan, kadang pakai jaket hijau ojol, kadang jaket buluk yang berwarna abu.
Micek dan Mbudek
Sebelum menceritakan lebih jauh, saya jelaskan dulu konteks kata micek dan mbudeg, ini perlu untuk diterangkan. Di kawasan Pantura “ngapak” sana, kampung asal saya, kata picek dan budeg bukanlah pisuhan yang kelewat nggak ada akhlak seperti yang biasa terngiang dalam pemahaman orang Solo, Jogja, atau Jawa Timur-an. Jadi, saya sama sekali nggak berniat misuhi Anda semua sebagai pembaca budiman yang tentu saja sadar aturan berkendara di jalan.
Meskipun demikian, kalau suatu saat salah satu dari Anda bersikap micek dan mbudeg ketika menyeberang atau putar balik di jalan, ya apa boleh buat, dengan berat hati tentu akan saya pisuhi tanpa basa-basi. Masalahnya begini, perilaku micek dan mbudeg ini sangat berbahaya. Tentu saja bahayanya lebih tinggi persentasenya di pihak saya atau orang lain sebagai pengendara yang menuju satu arah.
Maksud micek adalah orang yang menyeberang tanpa mengengok kedua arah berlawanan di jalan raya. Mereka ini terlalu sibuk dan angkuh sehingga hanya melihat salah satu arah dari sebelah ruas jalan raya. Saya yang berada di ruas jalan yang nggak mereka tengok, tentu saja merasa dirugikan.
Saya mesti mengurangi kecepatan secara tiba-tiba, menghindari ke kiri atau ke kanan, dan berpotensi tinggi menimbulkan lakalantas yang tidak diinginkan. Sementara dia yang nyebrang tanpa melihat kedua arah berlawanan bisa dengan mudah mengelak dari dakwaan, pandai berdalih nggak melihat keadaan. Saya yang jelas-jelas melihat seluruh kejadian, bisa jadi saksi kunci, korban, atau malahan dituduh sebagai pelaku kelalaian berkendara. Wajar saja apabila harus di-pisuhi orang-orang yang hobinya micek di jalan kayak itu.
Sementara mereka yang mbudeg, adalah oknum yang lebih jahat, dari jauh sudah saya klakson dengan lantang. Banyak faktor mengapa saya memilih opsi itu, bisa karena saya memperkirakan waktu dan jarak tidak cukup untuk mengurangi kecepatan aman. Bisa juga karena memang saya merasa itu jalan hak saya, sebab saya yang berkendara dengan arah lurus ke depan.
Damage Micek dan Mbudeg
Nah, si Budeg ini biasanya egois tingkat dewa, maunya nyebrang duluan, padahal jelas-jelas ada kendaraan berkecepatan tinggi dari arah berlawanan. Dan bukannya melambatkan laju kendaraan atau memberhentikan motornya sejenak, mereka malah memilih mbudeg, pura-pura tidak mendengar suara klakson yang pastinya masih dalam range 20–20.000 hertz.
Menurut saya, orang-orang yang mbudeg dan micek di jalan raya wajib di-pisuhi, seperti paramiliter yang suka bikin onar dan demonstran bayaran, perserikatan pengendara motor yang micek dan mbudeg ini juga harus dibumihanguskan.
Mestinya Pak Menteri Mahfud MD lebih concern untuk membubarkan persekutuan jahat pengendara picek dan budeg ini, ketimbang rame-rame ganyang FPI. Sekarang ada gempa dan banjir di beberapa daerah, sehingga berkurang satu kumpulan relawan kemanusiaan yang terkenal militan.
Pasalnya, damage dan hazard yang ditimbulkan oleh para penganut praktik micek dan mbudeg ini jauh lebih besar dibandingkan emak-emak salah sein yang katanya nggak bisa dilawan. Ibu-ibu pengendara motor yang ngeyel itu nggak banyak, lho. Cuma mereka yang dulunya memang akhwat pembalap sehingga setelah jadi emak-emak juga serba cepat di jalan raya. Aslinya, ya ibu-ibu yang berkendara pelan di pinggir jalan lebih banyak, mereka ini juga cenderung berhenti sebelum menyeberang.
Sayangnya, dalam beberapa kesempatan, saya cukup sial untuk bersinggungan dengan emak-emak yang micek dan mbudeg. Kalau sudah ketemu jenis yang satu ini, tinggal ngelus dada dan menghela napas dalam-dalam. Sudah nggak bisa dielakkan lagi kerugiannya, kalau nggak nabrak si ibu, ya saya nyerempet. Kalau nggak bersenggolan sama sekali dengan kendaraan atau badan si emak-emak, ya berarti aspal yang jadi lawan ciuman saya. Wes, apes pokoke!
Editor: Nirwansyah
Comments