Semarang musim hujan. Kemarin malam saya mengobrol dengan teman-teman organisasi di Burjo. Seperti biasa, obrolan sehari-hari: bagaimana masa depan organisasi, bagaimana proses perkaderan, ke arah mana organisasi ini bakal berjalan. Sesekali mengobrolkan kader yang menarik buat jadi bahan obrolan. Selain itu, ada juga yang mengeluh karena dirinya dikecualikan di status Whatsapp.
Sebagai kader yang nggak begitu militan, obrolan kayak begini jelas sangat membosankan. Kata saya, kenapa harus kita yang memikirkan juga yang menggerakkan. Ini organisasi banyak orang. Nggak perlu ambil peran di segala bidang. Dalam aktivisme, memikirkan dan menggerakkan, jelas dua fokus yang berbeda.
Untunglah obrolan membosankan itu nggak berlarut-larut, karena datang dua perempuan, satunya orang asing, yang bukan dari satu organisasi. Topik obrolan pindah ke topik personal kader. Apa saja sekenanya: kebaikan, keburukan, kualitas, hubungan percintaan, dan lain-lain. Nah di waktu inilah, salah satu teman saya menggerutu karena dirinya dikecualikan di status Whatsapp salah satu-dua kader. Dia murka, seolah itu adalah perbuatan dosa.
Dekecualikan dalam Status WhatsApp itu Wajar
Mengecualikan dan dikecualikan dalam status whatsapp, itu hal yang sangat wajar terjadi. Biasa saja. Nggak semua orang bisa hidup bebas. Nggak semua orang memilih hidup merdeka dari persepsi orang lain. Serta, nggak semua orang juga bisa bersikap bodo amat, meskipun sudah khatam buku “Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat”, Mark Manson. Saya sendiri memilih untuk mengelola privasi.
Whatsapp sebagai media sosial, menjadi tempat orang mencitrakan diri. Citra yang bagus menjadi ideal kebanyakan orang. Orang akan membuat status, yang itu bakal membentuk persepsi positif (dari orang lain) tentang dirinya. Akan tetapi masalahnya, nggak selamanya orang akan melakukan hal itu. Ada kalanya orang mengekspresikan hal-hal negatif dari dirinya, hal buruk tentangnya, hal menyedihkan dalam kehidupannya. Hal tersebut dilakukan, mungkin saja, karena tujuan tertentu dan bukan tanpa alasan.
Whatsapp memfasilitasi itu dengan membikin fitur “Privasi status” supaya dapat membatasi akses. Jadi, nggak semua nomor kontak bisa mengakses itu. Hal ini akhirnya menjadi kebutuhan. Orang akan mengatur privasi sebelum berbagi status. Karena, seringnya orang membuat status untuk ditujukan kepada orang-orang tertentu, meski ada kalanya status itu dibikin untuk umum.
Kecenderungan ini dimotivasi oleh refleksi mengenai diri sendiri: gambaran mengenai bagaimana orang lain memandang kita. Orang bisa berbagi apa saja dengan orang terdekat tanpa takut akan dipersepsikan negatif atau aneh. Karena sudah saling mengenal lebih jauh. Namun, orang akan khawatir terjadi kesalahpahaman, kalau berbagi status “Sesuatu” kepada orang yang belum mengenal dirinya lebih jauh.
Jangan Ditanggapi Berlebihan
Hal di atas sebetulnya sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh Charles Horton Cooley, looking glass self. Teori yang menekankan keberadaan seseorang berkembang berdasarkan interaksi dan persepsi orang lain. Seseorang bertumbuh menurut apa yang orang lain persepsikan mengenai dirinya. Kita sering membayangkan, “Gimana sih penafsiran orang kalau aku membikin status kayak begini?”, “Gimana reaksi mereka?” Selain untuk mengembangkan diri, juga untuk mencitrakan.
Saya misalnya, mengelola privasi bukan hanya untuk kebutuhan mencitrakan atau mengembangkan diri, melainkan juga untuk kebutuhan berbagi. Kontak Whatsapp yang terdiri dari berbagai golongan menjadi kebingungan saya untuk menempatkan diri. Saya tidak bisa memukul rata membagikan sesuatu untuk semuanya. Karena, hal tersebut bisa memicu kesalahpahaman. Saya sering dibilang terlalu ndakik-ndakik dalam bernarasi di status oleh sebagian kalangan. Padahal, bagi kalangan lain itu hal biasa. Makanya saya mengelolanya.
Jadi, kalau kita sampai tersinggung hanya karena dikecualikan di status Whatsapp, saya kira ini sangat berlebihan dan egois. Kita tidak menghormati pilihan-pilihan orang lain. Tidak menghargai privasi orang lain. Selain itu, kalau Anda mau tahu, kami mengelola privasi itu karena peduli dengan persepsi Anda mengenai diri kami. Jadi, sudah selayaknya Anda harusnya berbangga karena persepsi Anda masih dipedulikan. Begitu.
Comments