Tidak ada kesedihan yang lebih besar dari kesedihan orang tua yang harus menguburkan anaknya. Begitu pula dengan peristiwa yang menimpa Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang harus kehilangan putra sulungnya akibat terbawa arus sungai Aare, Swiss.
Tentunya kejadian ini sangat membawa duka bagi keluarga Ridwan Kamil. Hal yang sama juga dirasakan masyarakat. Timeline sosial media dipenuhi trending topik mengenai hilangnya Eril di sungai Aare.
Proses Pencarian Eril
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menemukan Eril, dengan bekerjasama antara KBRI dan pemerintah Swiss untuk mencari keberadaan Eril.
Akan tetapi, hingga waktu seminggu pencarian belum menemui titik terang. Sampai akhirnya pihak keluarga mengikhlaskan Eril telah meninggal dunia.
Selama proses pencarian kita diperlihatkan sebuah sikap yang ditunjukkan Ridwan Kamil dan keluarga yang begitu tabah dan ikhlas menerima musibah ini. Pelajaran dari hilangnya Eril.
Padahal kita tahu, setegar-tegarnya seorang ayah pasti hati nya sangat teriris, mencari keberadaan putranya yang entah ada dimana.
Tentang Stoisme
Dari peristiwa ini saya jadi teringat dengan perkataan Seneca seorang filsuf stoisisme dalam buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Seneca yang harus menjalani pembuangan di pulau Corsica menulis surat untuk menghibur hati ibunya (Helvia).
Janganlah engkau menggunakan alasan sebagai perempuan (untuk berduka berlebihan), karena perempuan telah mendapatkan hak untuk berkubang di dalam air mata, tetapi tidak untuk selama-lamanya. Karena inilah nenek moyang kita mengizinkan janda untuk berkabung, tetapi membatasinya.
Karena berduka tak henti atas kehilangan seseorang tercinta sesungguhnya adalah keegosian yang bodoh, sebaliknya, jalan tengah terbaik antara kasih sayang dan akal sehat adalah untuk merasakan kehilangan dan disaat yang sama menaklukkannya.
Saya mengerti bahwa emosi yang begitu kuat sulit dikendalikan oleh kita, apalagi emosi yang lahir dari dukacita. Terkadang kita ingin meremukkannya dan menelan keluh kesah kita, tetapi jangan mencoba berpura-pura, air mata kita masih juga menetes.
Terkadang kita ingin mengalihkan perhatian kita dengan menonton pertunjukan (hiburan), tetapi kenikmatan kita saat menonton berkurang saat teringat kehilangan kita. Karenanya, lebih baik jika kita menaklukkan kesedihan daripada mencoba menipu diri sendiri.
Karena, dukacita yang dicoba ditutupi atau dialihkan perhatiannya akan terus kembali, dengan kekuatan yang lebih besar. Namun, dukacita yang telah ditaklukkan nalar akan tenang selamanya.
Tulis Seneca dalam suratnya.
Validasi Emosi
Dalam suratnya ini Seneca menunjukkan empati terhadap betapa dalamnya dukacita orangtua yang kehilangan anaknya. Tetapi disaat yang sama, dukacita tidak boleh dirasakan berlebihan dan harus ditaklukkan oleh nalar.
Dari sini kita bisa memahami kelak kita akan kehilangan orang-orang yang kita sayangi, seperti halnya keluarga Ridwan Kamil. Tidak bisa memungkiri, pada waktunya kita juga akan merasakan kesedihan yang mendalam.
Kematian adalah Peristiwa yang Netral
Bagi filosofi stoisisme, kematian adalah peristiwa yang netral, bukan hal yang baik juga bukan hal yang buruk. Penilaian dan persepsi kita sebagai manusialah yang membuat hal itu menjadi baik atau buruk.
Misalnya: anak saya meninggal karena hukuman Tuhan atas dosa-dosa saya atau anak saya meninggal karena ini sudah rencana-Nya dan saya bersyukur ia sudah hadir dalam hidup saya.
Pemaknaan kematian itu sepenuhnya tergantung pada diri kita. Kita bisa memaknainya dengan negatif atau dengan positif, sehingga membawa keikhlasan dan ketenangan.
Pelajaran dari hilangnya Eril inilah yang bisa kita ambil dari peristiwa yang menimpa keluarga Ridwan Kamil. Bagaimana beliau sekeluarga menerima dengan ikhlas atas takdir yang sudah terjadi.
Eril yang semestinya bisa menjadi harapan masa depan keluarga dengan melanjutkan pendidikannya diluar negeri, tetapi semesta berkehendak lain.
Eril harus pulang terlebih dahulu mendahului Ayah, bunda dan adiknya untuk bertemu sang pencipta.
Selamat jalan Eril.
Editor: Lail
Gambar: Instagram.com/ataliapr/
Comments