“Mau buka bersama di gereja” begitu jawaban saya ketika ada teman yang bertanya hari ini bukber dimana.
Mungkin jawaban saya terdengar hanya lelucon dan bercanda saja. Namun, hari itu saya benar-benar ke gereja.
Saya mendapat undangan menghadiri acara bukber lintas iman di suatu gereja yang berlokasi di Depok, Sleman.
Awalnya saya ragu, undangan ini betulan? Gak salah nih? Terlebih, saat itu Jogja sedang di guyur hujan deras beserta angin. Semakin malas saja diri ini berangkat.
Selain itu, muncul anggapan dan ketakutan dari orang-orang terdekat saya. Mereka menganggap saya tidak kuat iman, nanti saat buka diberi air dari cawan suci, bahkan takut di baptis.
Haha, entah mereka bercanda atau beneran berkata. Tetapi, tidak ya! Acaranya betulan buka bersama di gereja.
Hingga akhirnya, ada teman yang bersedia menemani, saya bulatkan tekad dan putuskan untuk datang buka bersama di gereja.
Sambutan dan Salam
Saya ragu turun, karena aula tempat bukber di gereja tersebut ada di bagian bawah. Yaps! Bukbernya diadakan di aula, bukan di tempat inti untuk peribadatan dan sembahyang ya!
Setelah memberanikan diri turun, saya disambut dengan ramah oleh bapak ibu dari gereja tersebut.
Mungkin karena pandemi, jadi saya disambut dengan salam tanpa berjabat tangan. Kalo pakai bahasa chatting, layaknya emotikon high five yang sering dianggap emotikon salam.
Saya jadi tahu, kalau di gereja tersebut menggunakan salam berupa kalimat “berkah dalem”. Saya kira akan menggunakan kalimat “shalom”.
Mungkin di kolom komentar, teman-teman agama Kristiani bisa memberi tanggapan perbedaan dua salam tersebut ya!
Karena jujur, saya tidak mengerti asbabul nuzul perbedaannya.
Merasakan menjadi Minoritas
Selama ini, acara-acara yang saya ikuti biasanya akan dibuka dengan basmallah, atau setidaknya diajak MC untuk membaca doa menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Acara bukber ini dibuka oleh seorang Romo. Beliau mengajak berdoa para hadirin yang seiman. Saya? Hanya duduk, diam, mengamati.
Tidak paham bagaimana doanya, juga gerakannya. Saya jadi menyadari, bagaimana rasanya menjadi minoritas.
Nada Lagu Indonesia Raya
Kita tahu bahwa lagu Indonesia Raya memang dibuat dalam tangga nada tinggi, sehingga banyak yang cari aman dengan ambil nada bawah.
Hayo ngaku! Kamu pasti salah satunya kan? Xixi.
Sepertinya baru kali itu, saya mendengar lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan nada tinggi yang sesuai, bukan dari paduan suara.
Ku akui, suara para hadirin bagus semua!
Teh Panas dan Kultum 3 Menit
Saat itu saya merasakan vibes excited dan semangat dari para hadirin. Masing-masing perwakilan agama saling memberi argumen dan opini tentang toleransi.
Benar-benar sangat bersemangat, hingga tanpa terasa, bagian terpenting dalam bukber ini, yakni kultum, hanya dilakukan selama 3 menit saja.
Sontak para hadirin yang terdiri dari perwakilan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Sunda Wiwitan, tertawa menyadari waktu yang semakin sempit, haha.
Bisa dibayangkan, baru salam, opening, ramah tamah, sedikit materi, tiba-tiba adzan berkumandang, xixi.
Entah telat menuang dalam gelas karena tidak tahu jadwal berbuka atau bagaimana, teh yang dibagikan masih sangat panas. Sebenarnya cocok saja dengan hawa sore itu selepas diguyur hujan deras.
Tapi, lidah tidak bisa bohong. Kalau orang Jogja bilang, kemepyar, alias minumannya sangat panas, sampai rasa hangatnya langsung menjalar ke seluruh tubuh, namun dengan konsekuensi lidah terasa terbakar.
Btw, menu bukbernya dabes banget si! Selain teh panas, ada pula kolak, snack box, dan menu utama, nasi kotak dengan beragam sayur dan lauk! Mangstap poll!
Itu tadi sedikit cerita yang saya alami selama mengikuti bukber lintas iman. Pada akhirnya, saya menyadari bahwa bertemu dengan teman lintas agama tidak melunturkan keimanan.
Justru sebaliknya, menguatkan keimanan kita masing-masing, dengan tambahan bonus sikap toleransi yang semakin terpupuk dalam diri.
Jadi, kalau kamu diundang acara seperti ini, apakah kamu tetap akan hadir? Tulis di kolom komentar ya!
Comments