Peran dan gelar Kartini sebagai pahlawan emansipasi yang memperjuangkan kesetaraan gender memang menuai perdebatan. Ada sebagian orang yang menilai kalau pahlawan perempuan lain jauh lebih layak atas gelar itu dibandingkan Kartini yang hanya berkirim surat dengan kawan-kawannya di Belanda. Saya tidak tahu apakah yang berpandangan demikian sudah pernah membaca buku kumpulan surat Kartini atau belum. Yang jelas saya kurang sependapat kalau dianggap Kartini tidak berkontribusi apa-apa bagi perjuangan emansipasi di Indonesia. 

Meski kesannya hanya surat-menyurat, surat-surat Kartini bukan sekadar surat pribadi biasa. Di dalamnya memuat pemikiran-pemikiran kritis Kartini tentang pernikahan anak, tradisi dan adat-istiadat Jawa, poligami, agama, toleransi, dan kemanusiaan secara luas. Terkungkung dalam tembok tinggi tidak membuat pikiran dan jiwanya ikut terpasung. Pemikiran Kartini telah melampaui zamannya. Zaman di mana perempuan tidak memiliki hak berpendidikan, bercita-cita, dan menyatakan pendapat. 

Seabad lebih setelah wafatnya Kartini, perempuan sudah bisa bersekolah tinggi dan bekerja. Perempuan juga punya hak politik sehingga bisa menjadi pemimpin. Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa sih kita butuh kesetaraan gender? Bukannya sekarang perempuan sudah bisa sekolah dan bekerja seperti halnya laki-laki? Oke, mari kita bahas satu per satu mengapa kita butuh kesetaraan gender. 

Pertama, agar perempuan dan laki-laki mendapat hak dan kesempatan yang sama 

Perempuan masa kini memang sudah bisa sekolah tinggi dan bekerja sebagaimana laki-laki. Namun, itu saja tidak cukup. Dunia pendidikan kita masih diwarnai dengan kasus-kasus pelecehan seksual dengan kasus terbanyak terjadi di kampus atau universitas. 

Di dunia politik, perempuan kerap diragukan leadership skill-nya. Pemimpin perempuan dianggap lebih emosional, kurang tegas, dan kurang rasional. Doktrin agama dipakai sebagai senjata untuk menjegal mereka. Katanya menyerahkan kepemimpinan suatu negeri kepada perempuan adalah bencana. Padahal bukan begitu maksud dan konteks dalilnya. 

Sementara perempuan di dunia kerja berhadapan dengan sejumlah hambatan yang mematikan potensi dan menghambat karir mereka, seperti glass ceiling, ditolak bekerja di bidang-bidang yang dianggap maskulin (misalnya, pekerjaan-pekerjaan di bidang teknologi), diremehkan kemampuannya hanya karena ia perempuan dan sebagainya. Meski beban kerja sama dengan pekerja laki-laki, pekerja perempuan mendapat upah lebih rendah. Beberapa perusahaan malah merasa bahwa merekrut pekerja perempuan itu merepotkan karena harus memberi cuti hamil, cuti haid, dan menghadapi pekerja yang resign karena menikah. 

Sudah bukan masanya lagi menilai kualitas kerja seseorang dari jenis kelaminnya. Berikan kesempatan yang setara pada laki-laki dan perempuan dalam mengembangkan karirnya. Layak atau tidak, biarkan kompetensi dan hasil kerja mereka yang menjawabnya. 

Kedua, membebaskan laki-laki dari maskulinitas toksik 

“Laki-laki tuh harus kuat, gak boleh nangis”

“Cowok kok gak bisa angkat barang berat? Lemah!”

Cowok kok gak bisa nyetir?”

Wahai kaum adam, pernahkah kalian mendengar perkataan semacam ini? Ketahuilah bahwa ucapan-ucapan seperti itu termasuk maskulinitas toksik. Maskulinitas toksik itu termasuk salah satu produk budaya patriarki yang merugikan laki-laki. Laki-laki yang tidak berperilaku sebagaimana yang diajarkan atau diekspektasikan oleh masyarakat akan dianggap laki-laki gagal. 

Laki-laki dituntut untuk harus selalu kuat, tegar dan tidak boleh mengekspresikan emosinya. Padahal mengekspresikan kesedihan, kesakitan, terharu dengan menangis atau emosi-emosi lainnya bukan tanda kelemahan. Itu adalah tanda bahwa ia manusia. 

Laki-laki juga dituntut untuk lebih cerdas, memiliki pekerjaan yang lebih baik, dan penghasilan yang lebih tinggi dari perempuan. Seolah-olah jika tidak demikian, harga dirinya sebagai laki-laki telah jatuh dan tidak pantas dihormati. Akibatnya mereka merasa inferior. 

Nah, di sinilah kesetaraan gender hadir untuk memberi ruang aman bagi laki-laki untuk mengekspresikan dirinya dan menerima jika dirinya berbeda dengan laki-laki lain tanpa takut dirisak atau dihina kehormatannya. 

Ketiga, agar perempuan dan laki-laki dapat bekerja sama dan berbagi beban 

Siapa yang masih beranggapan kalau tugas perempuan hanya seputar dapur, sumur, dan kasur? 

Zaman dulu, perempuan biasa bekerja sambil bawa anak. Ketika zaman penjajahan, terjadilah pemisahan antara ruang publik dan ruang domestik. Ruang publik untuk laki-laki sedangkan ruang domestik untuk perempuan. Sayangnya, tradisi ini masih dipelihara sampai sekarang. 

Akibatnya, laki-laki jadi anti dapur, ogah disuruh bersih-bersih, dan momong (mengasuh) anak karena dipikirnya itu adalah pekerjaan perempuan. Padahal hidup berumah tangga butuh kerja sama, baik kerja sama dalam mengerjakan pekerjaan domestik, mengasuh anak hingga mencari nafkah. Kerja sama yang baik dapat mengurangi beban masing-masing. Suami tidak akan menganggap dirinya si paling capek karena seharian membanting tulang sedangkan istri tetap bisa punya me-time karena sudah bagi tugas dengan suami. 

Perempuan sekolah tinggi dan bekerja memang bukan hal baru di masa sekarang. Namun, perempuan masih sering diperlakukan tidak setara hanya karena ia perempuan. Perempuan juga masih belum aman dari pelecehan, kekerasan, dan diskriminasi di berbagai bidang kehidupan. Itu sebabnya kesetaraan gender diperlukan. Kesetaraan gender bukan hanya berguna bagi perempuan melainkan juga laki-laki, anak-anak bahkan kelompok marginal. 

Editor: Saa

Foto: Pexels