Dalam hal apa pun dan untuk alasan apa pun, plagiasi adalah suatu dosa besar yang sangat sulit sekali dimaafkan. Selain termasuk mencuri, menjiplak, menyalin ide dan kreatifitas orang lain tanpa izin, juga berpotensi mengambil hak yang semestinya diterima oleh para pencipta suatu karya. Jika sudah seperti itu, lantas, apa bedanya dengan para pelaku korupsi?
Selain itu, efek setelahnya juga tidak main-main. Seorang plagiator—sebutan untuk orang yang melakukan plagiasi—bisa masuk daftar hitam dalam dunia atau industri kreatif, termasuk dunia kepenulisan—tergantung apa bidang yang ditekuni. Selain merugikan orang lain, mencederai akal pikiran dan nurani, juga mencoreng nama baik.
Pada titik yang paling ekstrim, seorang plagiator akan sulit mendapat kepercayaan di pekerjaan atau bidang yang ditekuni pada waktu mendatang.
Jika sudah seperti demikian, yakin gitu, tetap mau jadi plagiator dan menjiplak karya orang lain secara utuh, serampangan, dan gamblang? Hasil yang didapat nggak seberapa, jejak dan masuk daftar hitamnya bisa diingat seumur hidup. Ketenarannya pun hanya bersifat sementara. Fana. Jadi, sebaiknya dihindari. Bahkan, tidak dilakukan sama sekali.
Cara Menghindari Plagiasi
Padahal, ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam menghindari tindak laku plagiasi. Satu di antaranya adalah mengutip dengan mencantumkan sumber kutipan. Mengutip, ya, bukan menjiplak atau menulis secara utuh tanpa sumber sama sekali. Kalau tinggal copy-paste, terus ide dan gagasanmu ada di poin yang mana, dong?
Saat ingin membuat suatu karya, lebih khusus lagi dalam menulis, tidak bisa dimungkiri bahwa, seseorang terinspirasi dari suatu bahan bacaan yang lain. Jika memang dihadapkan dengan hal seperti itu, ada dua langkah yang bisa dilakukan.
Pertama, setuju dengan opini pada tulisan tersebut dan jika ingin menulis dengan tema serupa, kemukakan opini orisinil yang dimiliki selain dari yang sudah dituliskan.
Kedua, tidak setuju dengan opini yang sudah ada. Kemudian, buat tulisan yang menyanggah gagasan tersebut. Harapannya, hal ini dilakukan untuk meminimalisir sekaligus menghindari aksi plagiasi.
Cara lain yang bisa dan sangat mungkin dilakukan, ya mencari ide dan susun gagasan dari awal. Sumbernya bisa dari pengalaman pribadi, hobi, atau merespon beberapa isu tertentu. Ide, termasuk konten yang ingin digarap itu nggak ada batasannya dan boleh jadi terinspirasi dari banyak hal, bukan?
Memberi Kesempatan Kedua kepada Plagiator?
Lantas, apakah seseorang yang melakukan plagiasi berhak diberi kesempatan kedua dan dimaafkan?
Bisa saja, tetapi mungkin sulit dan ada beberapa syarat yang barangkali harus dipenuhi serta mungkin ada perjanjian tertulis. Hitam di atas putih. Sebab, sebagian orang beranggapan bahwa seseorang yang sudah (berani, apalagi terbiasa) melalukan kecurangan, cenderung akan mengulangi kembali di masa mendatang. Jadi, wajar jika ada kekhawatiran tertentu dan rasa kepercayaan memudar. Lagi pula, perasaan tersebut tergolong manusiawi, kok.
Hal ini juga saya alami sebagai recruiter, yang terbiasa melakukan seleksi karyawan secara end to end, dari awal screening CV sampai dengan proses sign contract. Beberapa pelamar kerja, ada yang berani secara blak-blakan menyogok agar bisa menempati posisi tertentu yang sedang dibutuhkan. Tentu saja, hal ini tidak bisa dibenarkan sama sekali. Salah. Sangat salah.
Percobaan menyogok seperti ini, berpotensi untuk dimasukan ke daftar hitam juga. Sebab, integritasnya akan dipertanyakan. Baik sebagai pelamar kerja, maupun sebagai karyawan. Sederhananya begini, belum diterima sebagai karyawan saja sudah coba-coba melakukan kecurangan. Bagaimana jika sampai diterima? Jangan-jangan, segala cara akan dilakukan untuk mencapai target tertentu. Yang jelas, bisa membahayakan reputasi diri dan perusahaan.
Pada dasarnya, memaafkan itu mudah dan sangat bisa dilakukan oleh semua orang. Hanya saja, yang sulit adalah melupakan kesalahan seseorang pada masa lalu. Khusus untuk plagiasi, boleh jadi akan teringat terus sampai kapan pun.
Akan ada masanya timbul kembali prasangka, “Kali ini dia jujur nggak, ya? Ini karya dia sendiri bukan, ya?,” seterusnya, dan seterusnya. Begitu pula dengan para pelamar kerja yang menggunakan keberaniannya di jalur yang sangat salah.
Baik sebagai pegiat di dunia kreatif maupun pelamar kerja, kejujuran seharusnya tetap dijunjung tinggi. Dalam hal apa pun dan kepada siapa pun. Sebab, kejujuran ibarat mata uang yang berlaku di mana pun.
Editor: Nirwansyah
Comments