“Wah pengen deh hidup di desa, damai dan asri”
Kalimat seperti ini biasanya dilontarkan oleh orang kota yang berlibur ke desa. Hanya berdasarkan pengalaman liburannya dalam waktu tiga hingga lima hari sudah bisa menyimpulkan kehidupan desa yang nyaman. Banyak kita jumpai konten-konten yang meromantisasi kehidupan desa. Kehidupan sederhana dan menyatu dengan alam, udara yang sejuk dan bebas polusi, tanah yang subur sehingga bisa memetik hasil panen hingga sungai yang jernih. Gambaran situasi ini tidak sepenuhnya benar.
Sebagai orang yang hidup di desa selama beberapa tahun terakhir, saya mengalami culture shock yang cukup signifikan. Selain perbedaaan pola pikir, tingkat kesenjangan sosial di desa rupanya juga berlaku disini. Butuh kesiapan mental untuk beradaptasi. Bukan bermaksud melebih-lebihkan, penghakiman atas hidup seseorang juga kerap terdengar. Sisi gelap kehidupan di desa ialah harus memiliki kesabaran yang banyak. Bergosip sudah bukan menjadi hal yang tabu lagi. Banyak dijumpai peristiwa yang berujung fitnah hingga pertengkaran yang kasusnya melebihi kehidupan orang-orang kota.
Hubungan tetangga di desa juga masih tergolong akrab. Hal ini terlihat dari rumah yang saling berdekatan sehingga sangat mudah untuk meminta bantuan. Berbeda kehidupan di kota yang individual dan segala sesuatunya membutuhkan uang. Hidup di desa memang terbebas dari kemacetan, namun akses di beberapa fasilitas disini sangat mini sehingga bagi para generasi muda sangat sulit untuk berkembang. Tak heran jika banyak anak dari desa yang merantau ke kota untuk mendapatkan pengalaman dan pekerjaan yang lebih luas. Sarjana yang pulang ke desa harus tebal telinga ketika mendapat cibiran tidak merantau ataupun tidak menjadi PNS. Kategori sukses bagi masyarakat desa ialah menggunakan seragam abdi negara.
Benarkah hidup di desa setenang yang digambarkan? Oh, tunggu dulu. Ketika kamu termasuk orang dengan rutinitas bekerja antara jam 8 pagi hingga 7 sore dan suasana perumahan yang sunyi senyap, maka akan menjumpai tetangga yang setiap harinya tak segan menghidupkan sound system dengan suara yang membuat telinga terasa pecah. Ini bukan dalam kontes hajatan pernikahan ya, melainkan hari biasa. Jadi ketika kamu ada janji rapat secara daring siap-siap melipir ke tempat yang yang sepi.
Apalagi saat hajatan, upacara pernikahan tiga hari tiga malam bukan hal yang aneh disertai suara sound system yang keras. Sistem pernikahan di desa umumnya masih menganut gotong royong. Para ibu-ibu secara sukarela memasak untuk hidangan para tamu. Sedangkan para bapak bahu-membahu menyiapkan peralatan yang dibutuhkan. Fenomena yang sulit kita ditemukan di kota karena sudah ditangani langsung oleh wedding organizer.
Dibalik kehidupan orang desa yang sederhana tapi percayalah mereka sudah melek investasi dengan memiliki tanah maupun sawah. Aset tersebut biasanya menjadi harta turun temurun bagi anak cucunya. Kehidupan orang desa tidak dituntut gaya hidup yang tinggi, sehingga mereka memilih mengalokasikan pendapatannya dengan hal yang bisa menjadi bisnis di kemudian hari. Hal yang orang kota sulit memilikinya karena biaya hidup yang tinggi. Seperti kata pepatah, “rumput tetangga selalu lebih hijau”. Kita tidak akan pernah tahu hal apa dibalik kehidupan desa. Baik hidup di kota maupun di desa, semuanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Hidup di desa memang terlihat damai, keputusannya ada pada diri sendiri ingin menjaga kesehatan mental atau tidak. Bersyukur dengan lingkungan kehidupan saat ini merupakan langkah terbaik.
Comments