Roy, Jeje, Bonge dan para remaja dari Citayam, Bojong Gede dan Depok. Belakangan ini tidak lepas dari sorotan media. Mereka adalah sekelompok remaja yang memanfaatkan ruang publik di Jakarta. Kawasannya berada di SCBD dan Taman Dukuh Atas, untuk berekspresi lewat gaya busana yang unik dan apa adanya.

Outfit dan aksesoris yang mereka kenakan tidak dibeli di pusat perbelanjaan atau butik kelas atas. Bukan pula produk yang tergolong “luxurious brand”, sebagaimana yang biasa dikenakan oleh para supermodel dunia dalam pagelaran fashion internasional. Namun, tampilan mereka yang jauh dari kesan mewah dan mahal ini ternyata mampu menarik perhatian khalayak. Mulai dari masyarakat, media, pejabat publik hingga selebriti papan atas. Gaung Citayam Fashion Week (CFW) ini pun terendus oleh media mode Jepang, dan membandingkannya dengan awal kemunculan fenomena mode Harajuku. 

Viralnya fenomena SCBD tidak sebatas masalah fashion belaka, tapi ada juga kritik sosial yang seharusnya bisa kita baca secara seksama. 

Ketersediaan Ruang Publik yang Inklusif

Ruang publik yang inklusif adalah ruang publik yang terbuka, dan mudah diakses oleh siapa saja. Tanpa memandang latar belakang sosial, budaya, ekonomi, agama, usia, jenis kelamin, gender, maupun kondisi fisik seseorang (baca: baik yang able-bodied maupun disabilitas). Bagi remaja seperti Roy, Jeje, Bonge dan rekan-rekan Citayam lainnya, ruang publik yang memungkinkan mereka untuk berekspresi, menyalurkan hobi dan bakat, adalah kebutuhan. 

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Publik, menyebut proporsi ideal RTH sebesar 30% dari luas wilayah kota. Sayangnya, di daerah penyangga Ibukota, termasuk daerah asal Bonge cs, ketersediaan ruang publik begitu minim, yaitu hanya 6-7%. Di DKI Jakarta sendiri yang ketersediaan ruang publiknya hampir merata di seluruh kawasan. Persentasenya hanya 9,98% dari luas wilayahnya. 

Fenomena CFW bisa jadi merupakan sebuah kritik terhadap kebijakan pembangunan, dan tata ruang kota yang lebih memprioritaskan kebutuhan masyarakat. Serta mencakup dari kelas sosial dan ekonomi tertentu. Demi tampak modern, lahan-lahan kota lebih banyak disulap menjadi mall, gedung-gedung bertingkat, kafe, pemukiman elite. Ironisnya tidak semua masyarakat bisa mengakses dan menikmatinya. Modernitas yang minim empati. Masyarakat kelas menengah ke bawah kerap menjadi pihak yang tersisihkan dalam pembangunan. 

Kalau pun ada ruang pubik yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat, jumlahnya belum cukup memadai untuk menampung ekspresi anak muda. Selain itu, aksesnya pun terkadang terbatas, misalnya terkendala jam operasional tertentu atau akses transportasi yang cukup mahal dan sulit. 

CFW Merupakan Kritik atas Gaya Hidup Masyarakat Urban Kelas Menengah ke Atas yang Hedonis dan Materialistik. 

Kawasan SCBD merupakan kawasan perkantoran dan bisnis yang terkenal di Jakarta. Kita bisa dengan mudah menemukan mbak-mbak, dan mas-mas eksekutif muda bergaya perlente di kawasan elite ini. 

Kemunculan anak-anak muda Citayam dengan gayanya yang berbanding terbalik dengan gaya mbak-mbak dan mas-mas SCBD pada umumnya. Citayam Fashion Week juga sekaligus sebagai kritik, atas gaya hidup kaum mapan urban yang hedonis dan materalistik.

Entah atas nama self-healing, atau demi adu gengsi. Kaum mapan urban menjadikan traveling, shopping, dan nongkrong di kafe sebagai gaya hidup. Tentu tidak masalah kalau barang-barang branded yang dikenakan, secangkir kopi yang dibeli di kafe, dan pengalaman traveling itu dibeli dengan uang sendiri dan tidak mengganggu kebutuhan.

Namun, akan jadi masalah jika besar pasak daripada tiang. Demi membeli gaya hidup ala kaum borjuis agar bisa diterima di circle mereka. Sampai mengorbankan kebutuhan yang lebih penting atau terlilit utang sana-sini. 

Gaya hidup hedonis dan materialistik yang biasa ditampilkan oleh influencer, dan selebriti di media sosial bisa membuat siapa saja yang latah hanya sebagai pengekor. Mau gaya tapi lupa mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan finansial. 

Kehidupan modern yang materialistik seringkali membuat seseorang dinilai dari apa yang dikenakan, dikonsumsi dan dimiliki. Bonge cs dengan gayanya yang nyentrik, tapi natural seolah memberi kita pelajaran, bahwa nilai diri seseorang bukan terletak pada hal-hal yang material belaka. Nyatanya, tanpa outfit mahal dan branded mereka tetap percaya diri, eksis dan bisa berkreasi. 

Perlawanan Atas Standar Fashion yang Dianggap Keren 

Hype CFW ternyata tidak hanya menjadi magnet bagi anak-anak muda. Akan tetapi, banyak kemudian para anak muda lainnya yang kemudian berbondong-bondong ke kawasan Dukuh atas untuk berbagai aktivitas. Entah itu yang hobi main skateboard, atau sepatu roda, penyuka fotografi, content creator, sampai mereka yang sekadar ingin nongkrong karena penasaran dengan hype CFW. 

Beberapa hari lalu sempat ada “ribut-ribut” di mana seorang selebriti papan atas bermaksud mematenkan CFW ke Dirjen Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Kemenkumham. Apa yang dilakukan sang selebriti ini tentu menuai reaksi keras dari warganet hingga muncul narasi, “created by the poor, stolen by the rich”. 

Reaksi mereka itu wajar sebab ketika CFW dipatenkan, ia akan menjadi sesuatu yang tidak lagi natural. CFW menjadi sesuatu yang komersil dan keuntungan (baca: royalti) tentu saja akan masuk ke kantong pemilik modal (baca: pihak yang memegang hak merek CFW). Padahal CFW lahir dari  ekpresi jujur anak-anak muda kaum marginal yang dapat juga dibaca sebagai perlawanan terhadap standar fashion yang dianggap keren oleh mayoritas orang. Standar keren ini tentu saja dibentuk oleh pandangan kaum mapan urban. 

Pertanyaannya, apakah semua orang harus tunduk pada standar itu? 

Fashion adalah bagian dari eskpresi maupun identitas diri sehingga setiap orang berhak mau menampilkan dirinya seperti apa, mendefinisikan kekerenan, kecantikan atau ketampanan lewat gaya berpakaian, tanpa harus selalu tunduk pada standar-standar tertentu. 

Syukurlah, pengajuan HAKI atas CFW itu akhirnya dibatalkan. 

CFW memang tidak lepas dari pro dan kontra. Namun, di balik itu semua, tidak seharusnya kita mengabaikan bahwa ada juga hal-hal yang dapat kita jadikan pelajaran. Tergantung bagaimana kita mempersepsikannya. 

Editor : Faiz

Gambar : Google