Akhir-akhir ini saya teringat kenangan masa lalu, pemicunya adalah kematian seseorang yang mengingatkan saya akan masa lalu tersebut. Rasanya saya ingin kembali ke masa itu, masa yang sangat saya rindukan saat ini. Namun saya ingat bahwa dulu ketika menjalani masa itu, saya tidak merasa bahagia sepenuhnya.
Saya banyak megalami tekanan, saya juga selalu ingin pergi dari kondisi itu. Saya jadi menyesal saat ini karena dulu tidak menikmati masa itu. Dan saya sadari bahwa sebenarnya saya tidak bersyukur atas kondisi yang saya alami saat itu. Padahal, sekarang saya begitu merindukannya.
Saya berpikir, kalau tahu begini, mungkin saya akan lebih menikmati masa itu sehingga sekarang penyesalan tak begitu besar. Mungkin hanya sampai pada tahap rindu, tidak sampai menyesal. Lalu saya jadi teringat masa sekarang ini. Sekarang saya memiliki anak kecil berusia dua tahun. Setiap hari saya selalu bertanya kapan ini berakhir? Kapan anakku besar? Kapan rumah ini akan bersih dan rapi?
Saya juga selalu mengandai-andai, kapan saya bisa kuliah lagi? Kapan saya bisa berkarir? Saya ingin segera keluar dari situasi ini. Saya merasa terpenjara dan terkungkung di sini. Saya pun merasa insecure dengan semua orang yang sukses. Saya selalu membandingkan diri saya dan orang lain.
Saya merasa tak bisa apa-apa, tak memiliki apa-apa, tak mampu melakukan apa-apa. Saya hanya merasa diri saya kaum rebahan yang tak berguna. Berapa kali pun saya meyakinkan diri saya untuk berpikir positif, tapi ketika melihat orang lain, saya kembali insecure. Dampaknya, saya menjadi diam dan tak ingin berinteraksi dengan orang lain.
Baru-baru ini saya menonton video tentang kondisi rumah. Dalam video itu diceritakan bahwa kondisi rumah berantakan itu kelak akan kita rindukan. Kelak kamar akan rapi dan bersih, mainan tak akan berserakan, semua peralatan dan perabotan akan berada di tempatnya. Kelak keramaian itu berubah menjadi sepi. Kelak kita akan sangat merindukan masa itu.
Saya kemudian tersentak. Saya sadar bahwa ternyata selama ini saya hidup dalam pikiran saya akan masa mendatang. Saya tak memikirkan tentang masa ini, hari ini, detik ini. Saya sibuk menantikan masa depan yang belum pasti, sembari merutuki yang ada di depan mata.
Alih-alih mempelajari parenting, saya lebih banyak mengeluhkan kondisi rumah dan anak. Padahal saya sendiri bertekad untuk mengasuh anak saya sendiri, itu pilihan saya, tapi di sisi lain saya merutuki pilihan itu. Hal ini dipicu juga dengan meninggalnya teman sekolah saya, kami masih berusia 27 tahun. Dia meninggalkan anaknya yang berusia 3 tahun.
Saya tersentak lagi, kenapa selama ini saya memikirkan masa mendatang, sedang saya sendiri tak tahu kapan tutup usia. Kenapa saya terpaku dengan imajinasi tentang masa depan, terlalu memikirkan insecuritas daripada memikirkan yang ada di depan mata.
Alih-alih sibuk belajar parenting, belajar hal yang sudah dipilih sebagai jalan hidup, saya malah sibuk mengeluh. Saya terjebak dalam imajinasi yang malah membuat saya tidak bisa mensyukuri hidup ini. Mensyukuri apa yang ada di depan mata, mensyukuri detik ini.
Jika umur saya pendek, maka betapa menyesalnya saya yang hidup dalam pikiran masa depan yang bahkan tidak akan saya temui. Saya terus menantikan sesuatu yang tak pasti. Betapa menyesalnya saya meninggalkan kenangan untuk anak saya yang isinya cuma ngomel aja tiap hari. Bagaimana ia bisa menatap optimis kehidupannya kelak jika yang saya lakukan hanya mengeluhkan hidup ini dan jiwanya tidak hadir sepenuhnya di hadapannya.
Saya berkali-kali tersentak, semua yang terjadi di sekitar saya benar-benar menjadi pengingat. Pengingat dalam arti sebenarnya bahwa sebenarnya saya egois dan terlalu sombong. Egois tentang hidup saya sendiri, terlalu sombong bahwa saya akan hidup lama hingga tidak memikirkan hidup yang sekarang.
Saya baru paham arti kesadaran dalam masa ini, menghadirkan jiwa sepenuhnya pada masa ini. Bukan masa lalu, bukan masa depan. Rencana masa depan tentu boleh, tapi tak perlu hidup dalam imaji masa depan. Memikirkan hari ini adalah cara terbaik untuk hidup. Memikirkan masakan untuk si kecil, metode pendidikan untuk si kecil, mencari ide menulis, membersihkan rumah. Dan untuk masa pandemi ini, memikirkan bagaimana imun tetap terjaga serta mensyukuri tiap helaan nafas kita.
Editor: Nawa
Gambar:
Comments