Setelah covid-19 dikabarkan menjerat Indonesia, seluruh lapisan masyarakat mulai memberlakukan jaga jarak dan melaksanakan protokol kesehatan di segala aspek. Termasuk di bidang pendidikan. Sekolah-sekolah ikut berpartisipasi mencegah penyebaran covid-19 dengan melakukan pembelajaran dalam jaringan (online) semenjak pertengahan Maret 2020 lalu.

Dalam pelaksanaannya, pembelajaran daring, banyak menuai problematika yang kerap kali sulit untuk ditemukan titik temunya. Misalnya, siswa yang tidak memiliki sarana penunjang pembelajaran, orangtua yang tidak mampu mendampingi anaknya belajar, anak yang tidak mau belajar di rumah dan ingin main saja di luar, serta problematika lain yang membuat para orangtua angkat tangan dan ingin anak-anaknya belajar kembali di sekolah.

Sebenarnya dengan adanya covid-19 ini mengajarkan kepada kita semua, khususnya orangtua siswa, bahwa semua orang adalah guru, dan semua tempat adalah sekolah. Orangtua tidak sepatutnya menyerahkan pendidikan anak terhadap guru. Mereka pun pun harus tetap berpartisipasi aktif untuk mengajarkan anaknya. Sebab, guru di sekolah hanya mampu membimbing anak dalam sehari tidak akan lebih dari sepuluh jam. Selebihnya, waktu terlama siswa ada bersama dengan orangtua.  

Jika orangtua terbiasa memberikan pendidikan kepada anak di masa sebelum covid-19 ini, maka tidak akan ada keluhan-keluhan orangtua yang menyatakan anaknya sulit diajari dan lain sebagainya. Keluhan-keluhan tersebut melainkan karena mereka memang tidak membiasakan diri untuk mendidik dan mengajarkan anak di rumah. Orangtua yang seperti itu biasanya hanya menyerahkan peran mendidik anaknya kepada guru di sekolah ataupun guru les.

Ya sudah, sana main!

Orangtua yang tidak mampu mendidik anaknya, semakin hari akan semakin stres karena kelakuan anaknya. Mereka yang tidak terbiasa selama 24 jam bersama, kini menjadi kebingungan dan merasa tidak mampu lagi mendidik ataupun memfasilitasi anaknya. Hingga kebanyakan dari para orangtua itu, akhirnya memberikan izin pada anak-anaknya untuk main di luar. Bersama dengan kawan-kawan yang lainnya, tanpa memperhatikan protokol kesehatan sedikit pun.

Perilaku yang dilakukan oleh orangtua kepada anaknya tersebut memang menyenangkan hati anaknya. Dia merasa bebas bak liburan sekolah saja. Namun, keputusan tersebut menghancurkan hati para tim medis yang rela tidak dapat pulang dan memeluk anak-anaknya. Mereka dikecewakan oleh para orangtua yang mengizinkan anak-anaknya keluar tanpa hal yang berkepentingan.

Sebaiknya para orangtua mampu melihat lebih jauh bahaya dari covid-19 ini. Apakah aman jika anaknya keluar terus-menerus? Sebagian orangtua banyak yang beralasan “Ya, bagaimana lagi? Anaknya juga di rumah gak bisa diatur?”. Yang menjadi pertanyaan dari orang-orang dari bidang pendidikan ialah “apakah anaknya yang tidak bisa diatur atau orangtuanya yang enggan mengatur?”.

Jika orangtua mampu memberikan pengalaman-pengalaman menyenangkan yang dilakukan di rumah seperti salat berjamah, berkebun, memasak, hingga belajar bersama dengan menggunakan cara-cara yang menyenangkan anak-anak pun pasti akan betah berada di rumah. Akan tetapi akan lain kisahnya, jika orangtua tidak membersamai anak dalam mengisi kegiatan selama pandemi. Anak merasa dia tidak dapat melakukan banyak hal jika sendirian. Dan akhirnya memilih untuk bertemu dengan teman sebayanya karena ia merasa ditemani.