Siti Sukaptinah mengawali keikutsertaannya dalam organisasi saat ia masih bersekolah di HIS. Waktu itu Siti Sukaptinah mulai aktif di Siswapraja Wanita yang mana organisasi tersebut merupakan cikal bakal berdirinya Nasyiatul Aisyiyah. Kemudian saat ia bersekolah di MULO, ia aktif di organisasi Jong Java.
Tanpa disangka, ternyata di organisasi Jong Java tersebut hadir sesosok lelaki yang nantinya akan menjadi suami Siti Sukaptinah. Lelaki itu bernama Sunaryo. Organisasi Jong Java sendiri mulai berdiri pada tanggal 7 Maret 1915 di Gedung Pertemuan BU (Jakarta). Organisasi ini merupakan wadah dari perkumpulan pemuda-pemudi se-Jawa yang bertujuan meningkatkan rasa cinta terhadap budaya sendiri dan menyatukan seluruh pelajar se-Jawa Raya.
Aktivisme Siti Sukaptinah dalam Berbagai Organisasi
Saat Siti Sukaptinah pindah ke Taman Siswa pada 1925, organisasi Jong Islamienten Bond (JIB) menjadi tempat ia berlabuh berikutnya. Ketertarikan Siti Sukaptinah terhadap JIB disebabkan oleh nuansa islaminya.
Muhammad Nurul Muttaqin dalam skripsinya yang berjudul, “Dari Taman Siswa ke Masyumi: Perjalanan Ideologi dalam Karir Politik Siti Soekaptinah Sunaryo Mangunpuspito (1926-1960)”, menyatakan bahwa organisasi JIB selalu mengajarkan Islam toleran kepada para anggotanya. Ada 3 metode yang organisasi tersebut gunakan, yakni ceramah, mengaji bersama, dan debat tentang berbagai masalah keagamaan.
Pada 22 Desember 1928, Siti Sukaptinah menduduki posisi sekretaris dalam Kongres Perempuan Indonesia (KPI) pertama di Yogyakarta. Majalah sejarah digital historia.id mencatat bahwa saat KPI pertama itu, Siti Sukaptinah bersama murid-muridnya di Perguruan Taman Siswa membawakan lagu yang ia ciptakan sendiri dengan judul “Kinanthi Sekar Gendhing Srikastawa” sebagai pembuka kongres.
Seusai menyanyikan lagu, Siti Sukaptinah lantas membacakan asas kongres. Terdapat 4 asas kongres yang dimaksud, yakni; [1] menjadi ikatan perkumpulan perempuan; [2] bersama-sama membicarakan hak; [3] kebutuhan; [4] kemajuan.
Hasil dari KPI pertama adalah pembentukan Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI) di mana dalam organisasi tersebut Siti Sukaptinah menempati posisi sekretaris I. Setelah kongres selesai, Siti Sukaptinah kembali aktif di JIB. Organisasi JIB memiliki komisi urusan wanita yang disebut Commissie van Dameszaken.
Pada pertengahan tahun 1930, Ny. Saat Salim mengundurkan diri dari posisi pimpinan Commissie van Dameszaken. Siti Sukaptinah lantas ditunjuk oleh Pengurus Besar JIB untuk mengisi kekosongan posisi pimpinan tersebut. Akhir tahun 1930, kongres JIB keenam diadakan oleh JIB cabang Jakarta. Hasil dari kongres tersebut adalah mengubah nama Commissie van Dameszaken menjadi Pengurus Besar Jong Islamienten Bond Dames Afdeeling (JIBDA); dan saat itu Siti Sukaptinah terpilih sebagai ketuanya.
Istri Indonesia
Dua tahun setelah diadakannya kongres JIB keenam, pada 1932 beberapa organisasi perempuan berfusi menjadi Istri Indonesia. Istri Indonesia merupakan organisasi wanita yang tidak menjadi bagian dari organisasi lain. Organisasi ini berjalan menuju “Indonesia Raya” dan bergerak dalam bidang sosial dengan berdasar pada asas kebangsaan. Siti Sukaptinah sendiri kembali duduk di kursi sekretaris.
Namun, setelah kongres Istri Indonesia pertama usai, Siti Sukaptinah terpilih menjadi ketuanya. Selain mengadakan kongres, organisasi tersebut juga mengeluarkan mingguan yang diberi tajuk Istri Indonesia. Melalui mingguan tersebut, Siti Sukaptinah lantang menulis tentang pernikahan dalam hukum Islam, kemandirian perempuan, dan hak pilih.
Siti Sukaptinah juga lantang bersuara ketika terjadi perdebatan terhadap isu hak pilih dan keterwakilan perempuan Indonesia dalam Dewan Rakyat. Siti Sukaptinah memprotes keras pemerintah kolonial yang masih saja memilih perempuan Belanda di Dewan Rakyat.
Menurut Siti Sukaptinah, saat itu pemerintah sama sekali tidak memberikan kesempatan pada perempuan Indonesia untuk duduk di Dewan Rakyat. Protesnya tersebut dimuat dalam mingguan Istri Indonesia edisi November 1939.
Tahun 1941, Komisi Visman yang dibentuk pemerintah mengadakan penelitian tentang keinginan bangsa Indonesia dalam perubahan ketatanegaraan. Siti Sukaptinah termasuk orang yang dimintai pendapat, dan ia dengan lugas menyatakan bahwa dirinya ingin Indonesia berparlemen.
Saat Siti Sukaptinah menjadi anggota BPUPKI, ia menempati panitia ketiga yang fokus pembahasannya adalah pembinaan Tanah Air. Pada tanggal 31 Agustus 1991, Siti Sukaptinah menutup usianya di Yogyakarta ketika ia berusia 84 tahun. Dua tahun selepas wafatnya Siti Sukaptinah, teptanya pada tahun 1993 pemerintah memberinya penghargaan berupa Bintang Mahaputra melalui Keputusan Presiden No. 048/TK/Tahun 1992.
Salah satu jasa terbesar Siti Sukaptinah yang masih ada hingga saat ini adalah usulannya terkait peringatan Hari Ibu yang tanggalnya didasarkan pada pelaksanaan KPI pertama. Hal ini diungkapkan oleh Widya Fitria Ningsih, seorang kandidat doktor dari Universitas Amsterdam, seperti dikutip historia.id.
Editor: Nirwansyah
Gambar: Wikipedia
Comments