Mendengar istilah BPUPKI, nama-nama yang mungkin akan terlintas di kepala kita adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, dan beberapa tokoh yang sering muncul dalam mata pelajaran sejarah di sekolah. Namun, ternyata di antara 62 anggota BPUPKI tersebut ada dua orang perempuan yang memiliki peran tak kalah penting dengan anggota lainnya. Mereka berdua adalah Raden Ayu Maria Ullfah Santoso dan Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito.

Kumakichi Harada mengumumkan pendirian Dokuritu Junbi Cosakai (BPUPKI/Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Maret 1945. Namun, sebenarnya BPUPKI baru dibentuk secara resmi oleh Jepang bersamaan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito, yakni 29 April 1945. BPUPKI diketuai oleh Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat dengan wakilnya, yaitu Ichibangase Yosio dan Raden Pandji Soeroso.

Melansir dari majalah sejarah digital historia.id, Maria Ullfah merupakan sarjana hukum perempuan Indonesia pertama lulusan Universitas Leiden (Belanda), sementara Siti Sukaptinah adalah seseorang yang pernah menjadi guru di Taman Siswa. Tulisan ini nanti hanya akan berfokus membahas Siti Sukaptinah.

Keluarga Siti Sukaptinah

Siti Sukaptinah dilahirkan di Yogyakarta pada 28 Desember 1907. Ayahnya bernama Raden Panewoe Prawira’oelama, ia lebih masyhur disebut Panewu Suronto. Ayah Sukaptinah memiliki peran yang cukup penting di Kraton Yogyakarta, ia merupakan abdi dalem bagian ibadah. Sementara itu, kakeknya memiliki nama lengkap Kandjeng Panembahan Mangkoerat yang dikenal dengan Pangeran Mangkubumi. Beberapa literatur menyatakan bahwa Pangeran Mangkubumi adalah salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro.

Ayahnya sendiri sering mengurusi upacara-upacara keagamaan, seperti khitanan, pernikahan, atau syukuran. Ia juga sering turut serta dalam pengajian yang diadakan oleh Muhammadiyah di Kauman, Kraton Yogyakarta. Tak ketinggalan pula seluruh anggota keluarga diajak olehnya. Ayah Sukaptinah sendiri tercatat sebagai salah satu murid KH. Ahmad Dahlan, beberapa teman seangkatannya misalnya Hadikusumo, Muchtar, dan Fahruddin.

Sebagai abdi dalem kraton, salah satu kewajiban ayahnya adalah menghadap ke kraton 3 kali dalam seminggu. Muhammad Nurul Muttaqin mencatat dalam skripsinya yang berjudul, “Dari Taman Siswa ke Masyumi: Perjalanan Ideologi dalam Karir Politik Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito (1926-1960)”, bahwa ayah Sukaptinah sering menulis ulang sejarah para nabi dan wali dalam bentuk tembang dengan huruf Jawa.

Dalam hal pendidikan, putri abdi dalem kraton itu merupakan salah satu orang yang beruntung bisa mengenyam pendidikan di HIS (Hollands Inlandse School). HIS merupakan sekolah tingkat dasar yang diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia asli dengan lama waktu belajar 7 tahun. Murid-murid HIS biasanya berasal dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.

Setelah lulus dari HIS, ia melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan Taman Siswa Yogyakarta. Dalam skripsi Muhammad Nurul Muttaqin tadi diungkapkan bahwa M. C. Ricklefs menyatakan pendidikan yang ada di Taman Siswa menerapkan sifat pribumi yang non-pemerintah dengan berdasar pada kebangkitan nasional.

Putri dari Abdi Dalem Kraton

Ketika masih bersekolah di HIS, Siti Sukaptinah berangkat dengan jalan kaki ditemani oleh pembantunya. Hal tersebut berlangsung hingga ia kelas IV, saat ia telah menginjak kelas V ia selalu berangkat sendiri.

Kendati HIS didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono VII, sehari-hari HIS senantiasa memakai bahasa Belanda dalam proses pembelajarannya. Hal ini juga berlaku bagi seluruh murid HIS, kala berada dalam sekolah mereka diwajibkan menggunakan bahsa Belanda. Latar belakang Siti Sukaptinah mungkin hanya seorang putri dari abdi dalem kraton, tapi dalam sisi prestasi ia selalu mendapat nilai rapor yang bagus dan tak pernah tinggal kelas.

Sepulang sekolah, Siti Sukaptinah biasanya ikut serta dalam kegiatan pengajian yang diselenggarakan oleh ‘Aisyiyah setiap pukul 15.00 WIB hingga 16.30 WIB. Selepas mengaji, ia menunggu jemputan ayahnya di pesantren putri milik Nyai Dahlan. Bila sang ayah berhalangan menjemput, Siti Sukaptinah akan menginap di pesantren tersebut atau di rumah salah seorang teman ayahnya, yakni Fahruddin.

ia tak enggan berbaur akrab dengan para santri di pesantren putri milik Nyai Dahlan. Ia bahkan sering ikut makan bersama mereka. Siti Sukaptinah juga cukup akrab dengan putri-putri Nyai Dahlan, yakni Siti Busyro dan Aisyah.

Siti Sukaptinah lulus dari HIS pada tahun 1922, ia lantas melanjutkan pendidikannya ke MULO hingga tahun 1924. Sama seperti di HIS, MULO juga menggunakan bahasa Belanda dalam proses pembelajarannya. Hanya ada 2 guru yang berasal dari pribumi di MULO, sisanya adalah orang-orang Belanda.

Siti Sukaptinah hanya bersekolah di MULO selama 2 tahun, hal tersebut disebabkan oleh ayahnya yang hanya mengizinkan Siti Sukaptinah bekerja sebagai seorang guru. Siti Sukaptinah pun pindah ke Taman Siswa Yogyakarta hingga lulus tahun 1926. Setelah ia lulus, ia langsung diangkat menjadi pamong di Taman Siswa.

Editor: Nirwansyah

Gambar: Wikipedia