Mendaki gunung bisa jadi salah satu cara terapi patah hati
Kita semua tahu, banyak cara menghadapi patah hati, mulai dari memutar playlist-playlist bernuansa nggrantes, berkeliling dalam kota sendirian, hingga cara lain seperti mendaki gunung. Yah, saya sendiri sudah mencoba cara-cara tersebut. Namun, mendaki gunung bagi saya menjadi terapi patah hati yang ampuh. Setidaknya untuk sementara.
Semua berawal ketika saya terbangun di malam hari dengan perasaan hati yang nelangsa. Tanpa disangka, sekeluarnya saya dari kamar kos, saya mendapat ajakan naik gunung. Tanpa pikir panjang, saya iyakan tanpa persiapan, bahkan saya sendiri belum pernah naik gunung. Saya pikir, fisik saya cukup baik malam itu, pun gunung yang dipilih merupakan Gunung Andong, yang cocok untuk pemula seperti saya.
Ada keyakinan ketika saya mengiyakan ajakan tersebut; bahwa kegiatan ini akan menjadi terapi patah hati dan nelangsa yang setimpal harganya. Toh, mendung November terlalu menakutkan untuk dihadapi sendirian di kamar. Dan benar saja, mendaki gunung memang menjadi sebuah terapi penyembuhan patah hati yang layak dicoba. Saya punya beragam alasan;
#1 Gunung menjanjikan kesunyian
Sejenak meninggalkan hiruk pikuk kehidupan kota, dan kembali ke alam. Sebuah misi yang cocok menjadi tempat untuk merefleksi diri. Mau seramai apapun pendakian, gunung tetap menjanjikan kesunyian di banyak sisi.
Kesunyian di sini jelas beda dengan kesunyian yang kamu rasakan di kamar. Hawa dingin alam, serta jauh dari hiruk pikuk kehidupan, pikiran rasanya lebih jernih untuk berkontemplasi. Wajar, jika dulu para raja, bangsawan bahkan ulama, menjadikan gunung sebagai tempat sejenak melarikan diri untuk berkontemplasi, sebelum kembali ke hiruk pikuk kehidupan semestinya. Begitu juga dengan pelarian patah hati.
#2 Bertemu banyak teman baru
Ini yang unik dari gunung, di satu sisi memang menjanjikan kesunyian, tapi di satu sisi pendakian juga mempertemukan kita kepada orang-orang baru. Sunyi tapi juga ramai. Jika kesunyian gunung menjanjikan pikiran yang jernih untuk berkontemplasi, maka keramaian gunung menjanjikan kita suasana hati yang ramai namun menyenangkan.
Percayalah, bertemu orang baru di gunung itu rasanya menyenangkan. Saling sapa di jalan, tawaran makanan dan ngopi sana-sini. Tak peduli siapa kamu. Di sana kamu bakal menemukan keramahan demi keramahan. Keramahan yang bakal mengingatkan kembali pada kita yang sedang nelangsa, bahwa dunia ternyata masih sebaik ini.
#3 Melihat kembali dunia yang luas
Apa tujuan yang ingin dicapai pendaki? Puncak! Lantas, apa yang dilihat di puncak? Secuil dunia yang rasanya amat terlalu luas untuk dipandang mata. Ya, melihat kembali luasnya dunia, akan menyadarkan kita, bahwa, kita dan masalah kita rasanya terlalu kecil dibandingkan apa yang kita lihat di puncak.
Di puncak itu, kamu bakal meyakini, di setiap sudut dunia yang nampak kecil itu, di sana pasti ada banyak orang dengan masalah dan kesibukannya sendiri. Tapi dunia tetap berputar, sunrise menjadi sunset. Maka, selesaikan urusan, karena dunia tetap berputar pada porosnya.
#4 Mengajarkan arti perjalanan
Mendaki gunung itu seperti menapaki kehidupan, fluktuatif, naik dan turun. Kita sejenak merasakan lelahnya perjalanan, merasakan puncak seolah terbang terbawa angin, dan kembali turun menemui kehidupan yang keras. Akan selalu seperti itu.
Sebagaimana kehidupan, soal hubungan juga tak beda jauh, naik dan turun. Kita pernah merasakan terjalnya perjalanan, sejenak merasakan puncak seraya menyanyikan “Fly Me to the Moon”-nya Frank Sinatra, dan dipaksa turun oleh keadaan dan logistik yang menipis. Mau tidak mau. Tapi, bagaimanapun, nikmatilah naik dan turunnya. Seperti pendakian.
Saya jadi teringat dengan salah satu sosok penduduk lokal (akamsi) Gunung Andong. Kami menyebutnya Pak Gondrong, sosok yang amat sering mendaki gunung tersebut. Katanya, “Naik gunung itu buat ngilangin stres, kalau sudah turun ya stres lagi.”
Ya, kita semua tahu, bahwa dengan mendaki kita akan dijanjikan kenikmatan luar biasa yang tidak bisa dijelaskan dengan pasti. Namun, yang pasti, ketika turun – seperti kehidupan, seperti hubungan – kita memang harus siap-siap untuk stres. Tapi percayalah, kita bakal mendaki lagi untuk kembali merasakan puncak. Memang semestinya begitu. Heuheu.
Editor : Hiz
Foto : Pexels
Comments