Email menyumbang pemanasan global?
Pandemi covid-19 masih berlangsung sampai saat ini, namun kondisi yang sekarang tidaklah separah seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat telah mendapat tambahan imunitas dari vaksin, sehingga masyarakat lebih leluasa beraktivitas.
Sebelum adanya vaksinasi masyarakat dibuat takut karena virus ini sangat mudah menyerang sistem kekebalan tubuh. Bahkan Indonesia sudah mencatatkan lebih dari 5 juta jiwa meninggal dunia akibat virus ini. Ketika pandemi covid-19 berada pada puncaknya, pemerintah mengambil opsi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kebijakan ini berdampak pada berkurangnya aktivitas masyarakat diluar ruangan secara tatap muka.
Disatu sisi PSBB ini memberi dampak positif bagi lingkungan. Kualitas udara di berbagai daerah menjadi lebih baik karena aktivitas lalu lalang kendaraan yang biasanya menyumbang gas karbon monoksida berkurang drastis. Bahkan seorang peneliti dari universitas Colorado Boulder, yakni Antara Banerjee melaporkan bahwa saat kondisi pembatasan sosial diterapkan lapisan ozon yang berada di Antartika kian pulih.
Disisi lain dampak negatif juga mulai timbul. Masyarakat secara otomatis mengandalkan teknologi sebagai perangkat utama untuk bersosialisasi, tentunya hal ini sangat membatasi ruang gerak. Salah satu momen yang paling saya ingat sebagai mahasiswa adalah diselenggarakannya kuliah daring yang menggantikan sistem perkuliahan tatap muka. Tentu ini merupakan pengalaman yang akan saya ingat seumur hidup. Dengan adanya sistem semacam ini perkuliahan menjadi lebih fleksibel karena dapat dilakukan dimana saja, akan tetapi lambat laun hal ini mengakibatkan rasa jenuh juga.
Seperti halnya saat mengumpulkan tugas, biasanya mahasiswa dan dosen memanfaatkan email. Akan tetapi tak jarang tugas yang dikirimkan masih perlu revisi, sehingga sangat dibutuhkan balasan email dari dosen. Itupun kalau dapat dosen yang fast response. Namun jika sebaliknya, hmmm… harap bersabar saja!
Memang sistem perkuliahan semacam ini mengakibatkan baik mahasiswa maupun dosen harus stay pada layar monitor untuk mengikuti kelas, sedangkan seorang dosen bisa memegang lebih dari satu mata kuliah dan kelas. Hal ini yang memungkinkan dosen menjadi slow response terhadap email yang masuk.
Sebelum menuju ke intinya inti, kita perlu ketahui dulu bahwa email adalah sebuah perangkat digital yang menggantikan sistem surat-menyurat manual. Dengan email kegiatan berkirim pesan menjadi lebih singkat dan mudah serta dapat mengurangi emisi kertas. Akan tetapi perlu diketahui bahwa terkadang ada beberapa pesan mengendap di kotak masuk email karena belum dibaca. Tak disangka, hal ini justru dapat menyebabkan bertambahnya emisi karbon yang dapat mengakibatkan pemanasan global.
Kenapa bisa seperti itu?
Mengutip media inggris The Guardian, pada tahun 2019 sebuah penelitian dilakukan di Inggris untuk mengkaji hal ini. Penelitian tersebut dilakukan oleh Perusahaan OVO Energy yang merupakan lembaga penyediaan energi terbarukan di London. Menurutnya, ada sejumlah 64 juta email tidak penting terkirim setiap hari dengan produksi karbondioksida (Co2) sebanyak 61.433 ton per tahun. Produksi emisi itu setara 81.152 penerbangan pesawat dari London ke Madrid atau setara 3.334 knalpot mobil. OVO energry mengkalkulasi tiap pengiriman satu email memerlukan energi 0,000001 ton setara CO2.
Mike Berners Lee yang juga penasihat OVO dalam riset tersebut, memaparkan alasan email berkontribusi terhadap emisi karbon bumi :
“Ketika kita mengetik pesan, komputer sedang mengeluarkan tenaga listrik. Ketika kita mengirim email melalui internet, jaringan yang digunakan juga memerlukan tenaga listrik. Kemudian yang terkirim selanjutnya akan tersimpan di penyimpanan awan yang disebut cloud storage sebelum dibaca oleh penerima email” ujar Lee.
Meskipun disebut penyimpanan awan sejatinya mesin-mesin yang digunakan dalam proses penyimpanan data tersebut memerlukan energi listrik yang besar, sedangkan listrik yang dihasilkan sebagian besar masih membutuhkan bahan bakar dari fosil. Hal iniIlah yang menyebabkan semakin banyak pesan yang tidak terbaca, maka semakin besar pula kebutuhan bahan bakar fosil yang digunakan untuk melakukan kinerja penyimpanan data. Padahal kita semua tahu bahwa bahan bakar fosil dapat menimbulkan emisi yang tidak ramah lingkungan.
“Sayangnya kita tidak memikirkan hal itu karena kita tidak bisa melihat asap keluar dari komputer saat ada email yang masuk, akan tetapi jejak karbon dari teknologi informasi sebenarnya sangat besar dan terus berkembang,” imbuhnya.
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Menurunkan tingkat pemanasan global sebenarnya bukanlah pekerjaan yang mudah, akan tetapi hal-hal kecil dapat kita lakukan mulai dari email kita sendiri, Berikut caranya.
- Kosongkan folder email sampah secara teratur.
- Berhenti berlangganan email/artikel/kanal berita yang sebenarnya jarang sekali untuk dibaca, atau menghapus email tersebut setelah membacanya.
- Menonaktifkan Notifikasi email dari media sosial seperti Facebook, LinkedIn, dan Twitter kecuali benar-benar dibutuhkan. Sebagian besar informasi merupakan duplikat dari situs web atau aplikasi jaringan.
- Apa yang ada di email memengaruhi emisi karbonnya. Kompres lampiran email dan gunakan format file yang lebih ringan atau cukup ganti lampiran dengan hyperlink untuk menggunakan lebih sedikit energi.
Jadi melalui tulisan ini, semoga dapat menjadikan pengingat kita agar tak mengabaikan pesan email yang masuk. Dan bagi mahasiswa, hal ini sekaligus menjadi surat terbuka untuk para dosen-dosen tersayangmu yang sering slow response. Padahal, disaat yang sama kamu membutuhkan balasan email yang secepatnya. Coba kamu kirimkan artikel ini, siapa tahu dosenmu tercerahkan setelah membacanya.
Comments