Dalam karya terbarunya, “Matinya Kepakaran”, Tom Nichols menulis fenomena tentang keengganan dari kebanyakan masyarakat untuk percaya terhadap suatu pengetahuan yang sudah mapan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Jeff Orlowski, namun dalam kemasan yang berbeda, yakni lewat film dokumenternya The Social Dilemma besutan Netflix.
Film The Social Dilemma ini bercerita tentang bagaimana suatu teknologi atau media sosial dapat menyebabkan kebenaran itu ‘mati’. Selain itu, film ini juga bercerita atau bahkan menguliti berbagai sisi ‘jahat’ layanan internet, seperti Tik Tok, Twitter, Facebook, Whatsapps, Instagram, Youtube, Google, dan sebangsanya.
Tristan Harris menjadi tokoh sentral dalam film ini. Tristan adalah seorang lulusan dari Stanford University, ia juga pernah menjabat sebagai pakar etika Google, dan juga pendiri Center for Humane Technology. Selain Tristan, film ini juga menghadirkan berbagai tokoh kunci yang berpengaruh terhadap kemajuan Facebook, Twitter, Google, Instagram, Youtube, dan sebaganya.
The Social Dilemma: Teknologi dan Ancaman Kemanusiaan
Bisa dikatakan bahwa, kemajuan teknologi dengan segala dampaknya merupakan suatu penemuan yang sangat besar. Pada awalnya, teknologi merupakan alat yang diciptakan untuk memudahkan manusia di berbagai lini kehidupan. Namun, tujuan mulia tersebut berubah seiring dengan semakin canggihnya perkembangan teknologi.
Saat ini, tujuan dari teknologi cenderung disalahgunakan dan semata-mata hanya demi meraup uang sebanyak mungkin yang salah satu pemasukannya berasal dari iklan. Teknologi atau media sosial seakan-akan menjadi mesin pencetak uang. Film ini berusaha menguak itu semua dan berbagai kerumitan tentang teknologi dengan cara yang mudah dipahami bagi kalangan awam.
Adapun hal yang tak disadari oleh banyak orang, yaitu konten-konten yang tersedia di akun sosial medianya merupakan hasil manipulasi pihak ketiga dan itu tidak terjadi secara natural. Hal demikian telah diatur sedemikian rupa agar para penggunanya terus berlama-lama di depan layar, sehingga akan menarik minat pengiklan untuk memasangkan iklannya.
Barang tentu, kita telah merasakan berbagai dampak positif dan kemudahan dari kemajuan teknologi. Namun, kita cenderung abai terhadap dampak negatifnya yang justru sangat mengerikan.
Polarisasi yang semakin menajam (politik, aliran, dan SARA), radikalisasi, infiltrasi, kecanduan, kesehatan mental, hoaks menggurita, hingga terkikisnya kemanusiaan dan demokrasi merupakan contoh kasat mata dari ‘jahatnya’ teknologi.
Oleh karena itu, film ini juga memberikan peringatan bagi kita bahwasannya, ketika suatu teknologi atau kecerdasan buatan (AI) lebih unggul dan melampaui kecerdasan manusia, maka hal tersebut merupakan sekakmat bagi kemanusiaan.
Demi mengantisipasi terjadinya sekakmat tersebutlah film ini dipublikasikan. Selain itu, film The Social Dilemma ini secara gamblang dan berani telah menelanjangi berbagai kemaksiatan yang diperbuat oleh teknologi atau media sosial.
Narkoba Jenis Baru
“Hanya ada dua industri yang menyebut pelanggan mereka ‘Pengguna’, Narkoba dan Peranti Lunak.” Kutipan Edward Tufte ini setidaknya memberikan gambaran tentang persamaan media sosial dan narkoba, yang mana keduanya sama-sama membuat para pemakainya kecanduan.
Mungkin, Sebagian besar dari kita akan merasa panik, gelisah, khawatir, kesepian, dan sejenisya apabila tidak bersentuhan dengan gawai atau peranti lunak yang kita miliki. Seakan-akan kita merasa hidup di zaman purba.
Lantas, kenapa bisa demikian? Kenapa para pemakai tersebut kecanduan? Karena, narkoba ataupun media sosial sama-sama memberikan kesan yang palsu terhadap pemakai/penggunanya. Media sosial juga menciptakan semacam popularitas palsu nan rapuh yang sifatnya hanya sesaat.
Hal tersebut menjadikan media sosial bak penenang digital dan sekaligus pelarian dari realitas sosial yang ternyata tidak sesuai dengan kehendak kita.
Kemajuan teknologi yang semakin canggih dengan segala manipulasi dan kesan palsunya itu, barang tentu akan banyak menyasar generasi muda atau milenial. Oleh sebab itu, khususnya bagi anak muda, jadilah pengguna media sosial nan cerdas. Sudah selayaknya film semacam ini lebih banyak diproduksi untuk memberikan edukasi bagi masyarakat semesta.
Selain itu, bagi pemerintah, buatlah suatu peraturan/hukum terkait teknologi atau layanan internet yang lebih melindungi para penggunanya, bukan bagi para industrinya. Sebab, seperti kata Cicero “Lex populi suprema lex esto” (hendaknya kesejahteraan rakyat menjadi hukum tertinggi).
Hal ini harus diupayakan agar bonus demografi Indonesia yang katanya kelak akan menjadi generasi emas, tidak berubah menjadi generasi c(E)mas.
Comments