Untuk yang kesekian kalinya istilah Omnibus Law atau Omnibus Bill mendapat panggung dan menjadi buah bibir di berbagai elemen masyarakat. Lantas, hal tersebut juga menimbulkan bermacam reaksi dari berbagai kalangan dan seakan-akan membuat perhatian publik terhadap pandemi Covid-19 menjadi tertindih. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya aksi demo dan unjuk rasa di berbagai daerah serta ruang-ruang digital yang dibanjiri terkait isu-isu Omnibus Law.

Sebelumnya, wacana Omnibus Law tersebut pernah dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo pada pidato pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia Periode 2019-2024 dalam sidang Paripurna MPR RI 20 Oktober 2019. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyederhanakan peraturan yang ada, yang mana banyak peraturan yang tumpang tindih. Sehingga, hal tersebut dianggap menghambat investor masuk ke Indonesia.

Wacana itu kemudian ditindaklanjuti dengan pengajuan rancangan undang-undang (RUU) yang diinisiasi oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat RUU. RUU tersebut kemudian baru disahkan pada Senin, 5 Oktober 2020.

Di samping itu, yang perlu digarisbawahi adalah tidak ada yang salah sebenarnya dari Omnibus Law. Jelas kiranya yang dipermasalahkan oleh berbagai kalangan termasuk akademisi bukanlah Omnibus Law-nya itu, melainkan terdapat beberapa aspek dan segi yang kurang pas dengan iklim Indonesia. Lazimnya, Omnibus Law diterapkan dan berasal dari negara-negara yang menganut tradisi sistem Common Law.

Kecenderungan sebagian orang yang menyalahkan atau memberikan cap negatif terhadap kata atau istilah Omnibus Law tentu sangat disayangkan. Hal tersebut bisa jadi akan menimbulkan kesan dan stigma buruk yang tidak seharusnya disematkan pada frasa atau istilah Omnibus Law.

Omnibus Law secara Harfiah

Istilah Omnibus Law berasal dari bahasa Latin, yakni “Omnis” yang artinya untuk semua atau banyak. Prof. Syaiful Bakhri, dalam papernya yang berjudul Omnibus Law: Konsep, Peluang dan Tantang menulis, di dalam Black Law Dictionary Bryan Adam disebutkan bahwa omnibus adalah “Relating to or dealing with numerous objects or items at once; including many things or having various purposes”. Jika diterjemahkan secara bebas, omnibus berarti hal-hal yang saling berkaitan atau kesepakatan dari beerbagai macam objek dan tujuan yang dimasukkan atau diatur ke dalam satu keranjang (peraturan).

Barang tentu, dalam konteks hukum kata omnibus galib disnadingkan dengan kata “Law” atau “Bill”.  Sehingga, Omnibus Law atau Omnibus Bill menurut Fajar Dwi santo dalam tulisannya “Memahami Gagasan Omnibus Law,” berarti suatu peraturan yang dibuat berdasarkan hasil kompilasi beberapa aturan dengan substansi dan tingkatannya berbeda.

Menurut Audrey O” Brien (2009), Omnibus Law adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang. Sementara, bagi Barbara Sinclair (2012), Omnibus Bill merupakan proses pembuatan peraturan yang bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait.

Dus, Omnibus Law adalah salah satu metode dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan yang biasanya sering diterapkan oleh negara-negara yang menganut sistem Common Law atau Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat dan sebagainya. Sedangkan, Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda menganut sistem hukum yang biasanya disebut dengan Civil Law.

Oleh karena itu, apabila hendak berdemonstrasi atau sekedar memajang gambar-gambar di Insta Story, WA Story, dan sebagainya yang berkaitan dengan isu Omnibus Law yang sedang hangat saat ini, alangkah eloknya ditujukan kepada alamat yang jelas. Sebab, Omnibus Law dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja itu berbeda dan yang menjadi polemik itu bukanlah metodenya, tetapi beberapa hal yang tidak sesuai dengan iklim serta peraturan yang ada di Indonesia.