Judul di atas tidak lain adalah pelesetan dari puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Yang Fana Adalah Waktu”. Saya sengaja membuat pelesetan semacam itu untuk mencurahkan beberapa permasalahan tentang nilai dan relasinya dengan belajar.
Saya peringatkan sejak dini, bahwa saya bukan orang yang sering mendapat nilai bagus di kelas. Bahkan, dari sekolah dasar sampai madrasah aliyah tidak pernah mendapat peringkat kelas. Tulisan ini juga bukan berarti sebagai sebuah pembelaan dari saya yang tidak mendapat nilai bagus, sebab nilai saya sendiri sejatinya juga tidak jelek-jelek amat. Saya hanya ingin mengemukakan bagaimana belajar itu dan relasinya dengan sistem nilai (baca: angka).
Nilai sebagai Acuan Keberhasilan Belajar?
Tesis dasar yang ingin diusung adalah: semua seolah sepakat jika nilai merupakan satu-satunya alat yang paling handal untuk mengukur proses belajar. Posisi saya di sini hendak menegasi anggapan yang demikian. Saya juga tidak pecaya jika nilai menjadi sangat diagung-agungkan dalam proses belajar di negara ini.
Ilustrasi tentang siswa yang mendapat apresiasi karena nilainya yang fantastis akan banyak kita temukan di sekitar. Kenyataan demikian yang dapat membentuk pandangan hampir semua orang bahwa nilai adalah satu-satunya acuan dalam keberhasilan belajar. Mungkin, orang tua jika melihat nilai anaknya buruk akan beranggapan bahwa anaknya merupakan pelajar yang gagal. Itu sangat wajar, namun tidak perlu terus-terusan untuk menghantui pikiran kita.
Belajar sejatinya adalah laku kreativitas dan bagaimana ia bekerja untuk kemajuan tiap individu. Dari takrif yang semacam itu, tentu Anda akan sangat cepat untuk dapat memberi titik diferensial antara belajar dan nilai.
Nilai, barangkali hadir sedikit lebih lambat dari belajar. Sebab, ia merupakan hasil belajar yang selalu diagung-agungkan. Namun, di beberapa hal dari belajar dan pelajaran ada satu titik di mana angka tidak bisa menjangkau. Dalam teori akhlak, ini cuma permisalan, kita tidak akan mengklaim hal itu berhasil karena siswa mendapat nilai dengan sangat fantastis. Namun, hal tersebut bisa dianggap berhasil jika sudah menjadi lelaku sehari-hari.
Maka, ketidakmampuan angka cum nilai untuk mengukur hal itu, secara khusus dalam ranah implementatif, yang bisa menegasikan sistem nilai sebagai suatu entitas yang agung. Saya hendak menyudahi euforia tentang nilai ini. Bahkan, kalau perlu—kalau tidak ada pendidik yang keberatan— ihwal belajar harus terpisah sama sekali daripada nilai itu, nilai yang berupa angka tentunya.
Kita tidak akan lagi menghitung sebuah proses belajar dan keberhasilannya dengan angka. Kita akan coba keluar dari hal itu dan hanya akan melihat keberhasilan sebuah pelajaran sesuai dengan implementasi yang dapat dilihat.
Kreativitas, Bukan Angka-angka
Hanya itu yang bisa membuat siswa tidak berebutan untuk saling mendapat nilai yang mencolok. Namun, lebih terpantik untuk mengerjakan hal lain, ambil contoh melatih kreativitas untuk proses belajarnya. Yang dibutuhkan memang kreativitas dan bukan angka-angka yang mencolok di nilai laporan hasil belajar.
Pelajar hari ini terlalu formal dan ditutuntut untuk selalu memamerkan nilai dan angka. Sementara, di luar itu semua banyak orang yang seakan terlupakan karena tidak ada penilaian dari pihak berwenang, dalam hal ini sekolah. Padahal, semula belajar itu hanyalah belajar, tidak lebih. Tidak ada embel-embel demi nilai.
Namun, kabar baiknya mungkin konsep nilai juga bisa meningkatkan daya saing dalam belajar. Ini bisa diterima sepanjang tidak ada pengkultusan terhadap nilai dan angka itu. Kesadaran kolektif yang harus ditumbuhkan di benak siswa, bahwa nilai-nilai tersebut hanyalah formalitas.
Pokok bahasannya yang terpenting adalah proses belajar selalu memantik laku kreativitas. Sebab, nilai yang tinggi hanya sekadar nilai jika tidak bisa memantik kreativitas dalam diri manusia. Kita tidak akan pernah memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang mencengangkan jika kesadaran tentang kreativitas tidak ditumbuhkan, bahkan mungkin dilupakan.
Padahal, belajar intinya adalah kreativitas. Yaitu, kreativitas membuat hidup lebih baik ke depan menuju hari yang akan datang. Jika kreativitas sudah mati, sebaiknya belajar dihentikan saja, sebab nirmakna sama sekali. Sekali lagi, saya ingin menekankan apa yang telah ada di muka. Sambil membuat pelesetan dari puisi Sapardi, saya ingin mengatakan bahwa yang fana adalah nilai, belajar abadi.
Editor: Nirwansyah
Ilustrasi: SekolahDasar.Net
Comments