Awal perkenalanku dengan Eyang Sapardi Djoko Damono atau sering disebut SDD adalah melalui bukunya, Hujan Bulan Juni Serpihan Sajak. Buku dengan sampul bergambar daun kering yang dikelilingi rintik hujan membuatku bertanya-tanya, “Hujan kok bulan Juni?”.

Rasa penasaran itulah yang membuatku tertarik untuk mengambilnya dan menyerahkan ke kasir. Mungkin bisa dibilang buku puisi yang pertamakali aku beli adalah milik Eyang Sapardi-Hujan Bulan Juni ini.

Sesampainya di asrama, aku mulai mencari review buku itu di internet dan mulai membaca artikel mengenai penulisnya—Sapardi Djoko Damono. Pun akhirnya terjawab, puisi yang sering disematkan di undangan nikah ternyata milik Eyang—Aku Ingin.

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu…”Sapardi Djoko Damono

Ternyata buku ini pertama kali terbit tahun 1994, dan buku di tanganku sekarang adalah versi hardcover yang diterbitkan tahun 2013. Saat itu aku sedang membayangkan penulisnya seperti apa. Kupikir satu generasi dengan penulis “Si Binatang Jalang” Chairil Anwar. Terlalu kejauhan ternyata, Eyang Sapardi ternyata masih aktif menulis walau usianya tak bisa dibilang muda lagi.

Sejak itu aku mulai mengikuti karya Eyang Sapardi sampai-sampai sebagai pembaca cukup kewalahan. Sebab rasanya Eyang Sapardi tak henti-hentinya berkarya. Setelah Hujan Bulan Juni 2013, Bilang Begini Maksudnya Begitu, ada Trilogi Soekram, Trilogi Hujan Bulan Juni, Melipat Jarak, dan Suti. Belum lagi buku-buku yang Eyang Sapardi terjemahkan, ada Yesus Anak Manusia, Sayap Sayap Patah dan Almustafa milik Khalil Gibran, Lelaki Tua dan Laut serta masih banyak lagi.

Aku yakin semua sepakat kalau Eyang Sapardi adalah penulis yang sangat produktif. Tahun ini, bulan Januari menerbitkan kumpulan puisi yang berkolaborasi dengan Rintik Sedu—Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang. Di bulan Maret menerbitkan novel terbaru dengan judul Segi Tiga. Lalu di bulan Mei pre-order Mantra Orang Jawa yang diterbitkan ulang.

.

Aku sebagai anak muda rasanya tertampar berkali-kali oleh Eyang Sapardi. Bagaimana tidak, walaupun sudah berumur, energi Eyang untuk membuat karya tidak pernah surut. Bahkan ketika orang tua lainnya menghabiskan masa tua untuk berdiam diri di rumah, Eyang malah aktif menulis, mengisi seminar, mengajar, menerima mahasiswa di rumahnya untuk membagikan ilmu.

Malu rasanya, jika aku di usia muda namun energi untuk membuat karya dan melakukan hal yang bermanfaat surut begitu saja. Kupikir Eyang Sapardi adalah sastrawan yang begitu membekas di ingatanku dan menempati sisi kecil di hatiku.

Sastrawan pencipta Hujan Bulan Juni itu menghembuskan napas terakhirnya di bulan Juli. Dan baru kusadari, ternyata hujan bulan Juli lebih deras dibanding hujan bulan Juni, Eyang. Kata Eyang,

“Suatu hari nanti,

Jasadku tak akan ada lagi,

Tapi dalam bait-bait sajak ini,

Kau tak akan kurelakan sendiri…”Sapardi Djoko Damono

Ternyata benar, walaupun jasad Eyang tak ada lagi, tapi bait-bait sajak Eyang Sapardi akan terus menemani kami. Terimakasih Eyang, karyamu telah menemaniku saat aku jatuh cinta, saat aku terpuruk, saat bahagiaku, dan akan selalu begitu. Sekarang, jalanlah Eyang, lihat ke depan, doa kami menyertaimu Eyang. Selamat jalan Eyang.