Hari-hari belakangan semakin susah menemukan perbedaan humor dengan horor. Kadang humor jadi horor, dan kadang sebaliknya.

Masih ingat kasus Bintang Emon saat berkomentar tentang kasus Novel Baswedan? Videonya menanggapi tuntutan jaksa dengan sentuhan komedi mendadak viral setelah direpost oleh warganet jutaan kali. Komentar-komentar pedes campur sinis Emon memang nggemesin, dan membuat orang pengen ikut ‘cubit’ pipinya.

Kalau soal konten humor mendadak viral dan menghibur warganet memang itu tujuan komedian. Syukur-syukur konten ringan yang disuguhkan, turut berkontribusi mencerdaskan anak bangsa agar lebih kritis dan sensitif terhadap realitas tanpa harus melahap habis bangku sekolahan.

Humor Menjadi Horor

Sayangnya humor emon mendadak horor. Usai mengunggah video kasus Novel, Emon diserang habis-habisan oleh akun-akun buzzer yang menudingnya sebagai pengguna narkoba.  Nyali siapa tak kan ciut mendapat serangan dan fitnah yang lebih mirip dengan persekusi dan pembunuhan karakter. Alih-alih memberi hiburan agar warganet bahagia, justru balasan fitnah yang Emon terima.

Ada lagi, unggahan humor ‘polisi jujur’ ala Gus Dur Presiden RI ke-4 melalui akun media sosial warga Maluku Utara yang berujung dengan wajib lapor di Kantor Polisi selama dua hari. Ini humor lama tapi kembali viral di masa pandemi corona. Lagi-lagi aparatur negara susah menemukan perbedaan humor dan horor.

Ismail Ahmad, seperti warganet lainnya, di waktu-waktu senggangnya iseng scroll-scroll sosial media untuk mencari hiburan bermodal kuota.  Saat ia menemukan konten yang menyentuh, ia repost untuk sekedar menjawab pertanyaan rutin facebook ‘what’s on your mind?’. Opo seng tok pikir, gaes? Ya, saya pun sering melakukan itu.

Siapa sangka guyonan Gus Dur tentang ‘Polisi tidur, polisi gantung, dan polisi Hoegeng’ yang legendaris itu tetiba meyeruak menjadi horor yang menakutkan. Humor yang berbuntut panjang di kepolisian. Membuat orang berpikir ulang untuk sekedar berbagi tawa dan keceriaan lewat banyolan.

Horor Menjadi Humor

Dua kisah humor berbuntut horor di atas berbeda dengan kisah horor yang berujung humor. Ya, hampir semua orang di belahan bumi manapun, sejak akhir 2019 terteror dengan hadirnya novel coronavirus.  Novel Baswedan diteror dengan air keras, orang di seluruh dunia ganti diteror oleh ‘Novel’ dari jenis yang lainnya.

Yang bikin seru, serangan Virus Novel ini oleh banyak warga +62 ditanggapi dengan humor macam Bintang Emon memberi komentar kasus Novel Baswedan. Padahal seluruh dunia paham bahwa virus ini mematikan karena daya penyebarannya yang massif sementara vaksin atau obat penyembuhnya hingga Juni 2020 belum juga ditemukan.

Pemerintah Susah Menentukan Perbedaan Humor dan Horor

Tentu warganet tak bisa lupa bagaimana pejabat negara membuat narasi humor tentang Corona di awal pandemi. Seorang Menteri berkelakar, “Tapi [ini] guyonan sama Pak Presiden, ya. Insyaallah [virus] COVID-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing. Jadi kebal.” Lama tak berselang diumumkan sang Menteri positif covid-19.

Pejabat lain tak mau kalah gokil, ‘Katanya virus Corona enggak masuk ke Indonesia karena izinnya susah.”  Sebuah auto kritik terhadap rumitnya birokrasi di Negeri ini. Padahal ia seorang Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Itu semua humor yang cukup menghibur di bulan Februari. Masuk di pertengahan Maret humor Corona beralih menjadi teror bagi Pemerintah. Kalang kabut Pemerintah uji coba dan bongkar pasang kebijakan baik di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, juga urusan peribadatan.

Horor corona yang ditanggapi dengan humor bukan monopoli pejabat.  Warga menyambut horor corona dengan humor yang gegap gempita. Kebijakan lock down dihayati masyarakat dengan satiran ‘lauk daun’ setiap hari. Karena mereka tak mampu lagi membeli daging dan ikan lantaran putus hubungan kerja.   

‘Kelamaan lock down, ibu-ibu muda di komplek kami justru positif’.  Atau kelakar ‘Ini bukan yang pertama kan, sabun di rumah cepat habis karena keseringan mandi?’ Guyon-guyon seksis macam ini juga menjadi penghibur di tengah ketakutan warga.

Tak hanya dalam percakapan, tulisan di spanduk-spanduk warga juga mengundang tawa siapapun yang membaca. “Tamu wajib lapor, Perhatian anda memasuki wilayah wahing diantemi”.  “Dilarang masuk! Sedang di Lock Gendown”.

Horor Corona pun menjadi inspirasi fashion yang mengundang senyum dan decak kagum. Kebijakan wajib masker ditangkap sebagai peluang untuk menciptakan rupa-rupa masker yang tidak hanya fashionable dengan rumbai dan manik-manik tapi juga lucu-lucu dengan sablon wajah berbagai ekspresi. 

Humor yang ditampilkan pejabat negara di awal pandemi adalah representasi kecerobohan dan ke-santuy-an Pemerintah dalam melindungi nyawa warganya. Tapi humor warga menghadapi horor corona belakangan dipahami sebagai katarsis atas kelelalahan menghadapi ketidakpastian.