Sudah bukan menjadi pengalaman tunggal, bahkan pengalaman bagi kebanyakan para pelajar, ketika mereka merasa soal ujian itu lebih sulit daripada materi pelajaran yang diterimanya saat di ruang kelas.
Bahkan tidak hanya sulit, terkadang pelajar termasuk saya sendiri ketika duduk di bangku sekolah, merasa bahwa soal ujian itu berbeda jauh dengan apa yang diajarkan di ruang kelas atau apa yang ada di dalam buku pelajaran.
Saya sendiri sempat berprasangka buruk kepada guru saya atau pihak-pihak yang mengontrol pendidikan itu, bahwa apakah iya mereka ini sedang ngerjain kita para pelajar ketika ujian.
Rasa-rasaya kok kita ini sebagai pelajar cuma menjadi bahan prank-prank-an doang ketika ujian. Jadi, kita kayak dikerjain gitu sama guru sendiri. Di kelas, para guru kita ngomongnya A, eh pas ujian mereka bahas B. Plin-plan atau gimana, sih?
Namun, prasangka-prasangka buruk itu kian mulai luntur seiring berjalannya waktu mengikuti kedewasaan, pengetahuan dan kecermatan yang mulai berdatangan dalam diri saya.
Ternyata, para guru maupun pendidik kita itu bukannya berniat jail dengan memberikan soal ujian yang kita anggap jauh berbeda dengan materi pelajaran yang disampaikannya. Mereka itu tidak niat ngerjain, atau bahkan plin-plan tidak konsisten.
Namun, lebih daripada itu, justru ada beberapa alasan yang melatarbelakangi sistematika pendidikan semacam ini, bahkan menurut saya alasan ini sangat cerdik dalam mengoperasikan roda pendidikan. Jadi, tidak asal buat soal ujian yang sulit biar para pelajar kapok pusing tujuh keliling, gitu.
Merasa sudah bisa tapi sebenarnya masih “kurang”
Alasan pertama yang sangat penting untuk disadari adalah banyak para pelajar merasa sudah bisa tapi sebenarnya masih “kurang”. Jadi, menurut saya ini yang sering terjadi pada kebanyakan pelajar bahwa mereka merasa bisa ketika guru menjelaskan atau sedang membaca buku pelajaran.
Namun, perasaan tersebut tidak sesuai dengan kenyataannya. Ketika mereka dihadapkan pada kasus yang lain, angka yang lain, atau retorika soal yang lain, maka mereka langsung goblok ndadak, tidak tau apa-apa sama sekali. Meskipun, pondasi materi, rumus soal, atau pengetahuan dasarnya masih sama dengan yang mereka dapatkan ketika belajar.
Kejadian seperti inilah yang sering disebut sebagai ‘illusion of mastery’. Kita merasa bisa, tapi sebenarnya kita tidak bisa. Jadi, kita hanya sebatas ‘merasa’ sok bisa, sok pintar, sok lihai, sok berwawasan, tapi ketika dites ujian beneran, ya goblok, sebenarnya tidak bisa sama sekali.
Nah, ini yang menjadi problem, karena para pelajar tidak memahami pondasi pengetahuannya, tidak memahami rumus dasarnya. Melainkan, mereka hanya paham pada kasus atau soal yang dicontohkan oleh guru mereka atau dalam buku pelajaran mereka.
Padahal, seharusnya yang dipahami adalam rumus soalnya, bukan menghafalkan contoh-contoh soalnya. Karena jika menghafal contoh soal, maka mereka hanya akan merasa bisa tapi sebenarnya tidak.
Misalnya begini, guru mungkin mentok mengajarkan perkalian untuk angka puluhan saja, seperti 15×5, 2×13, 24×38 dan lain sebagainya. Namun, guru tidak mengajarkan perkalian angka ratusan hingga ribuan. Nah, ketika muncul soal ujian perkalian yang angkanya ratusan hingga ribuan, kita malah kikuk goblok dan tidak bisa menjawab. Padahal, kan rumusnya masih sama yakni perkalian, hanya kasusnya saja yang berbeda.
Menguji tingkat kompetensi
Sebagaimana namanya ‘ujian’, ya tentu saja sistematika pembelajaran semacam ini untuk menguji kompetensi dari para pelajar itu sendiri. Melalui level ujian yang lebih sulit daripada materi pelajaran akan mengukur bagaimana tingkat kecerdasan, kecermatan, pemahaman atau pengetahuan yang dimiliki oleh pelajar.
Dari model pendidikan semacam ini setidaknya akan mengukur empat hipotesis tingkat belajar. Pertama, apakah pelajar tersebut belajar sesuai standart yang diajarkan oleh guru. Kedua, apakah pelajar tersebut justru belajar di bawah standart yang diajarkan oleh guru.
Ketiga, lebih gobloknya lagi si pelajar malah tidak belajar sama sekali dengan pelajarannya. Dan, yang keempat, lebih hebatnya lagi si pelajar justru belajar melebihi apa yang diajarkan oleh guru.
Nah, ketika pelajar menjawab dengan benar seluruh soal ujian, berarti pelajar tersebut belajar lebih dari apa yang diterimanya di kelas. Ketika pelajar mampu menjawab diatas nilai standart maka ia setidaknya sudah belajar sesuai dengan apa yang diajarkannya di kelas.
Lah, tapi ketika si pelajar nilainya di bawah nilai standart maka perlu dipertanyakan kinerja belajar si siswa ini, apakah ia benar-benar belajar atau sudah belajar tapi tidak maksimal.
Memaksa siswa untuk belajar selain yang diajarkan di kelas
Masih berkesinambungan dengan pembahasan sebelumnya bahwa model ujian yang lebih sulit daripada materi pelajaran itu sebenarnya untuk memaksa pelajar agar mereka belajar di luar apa yang diajarkan di kelas.
Jadi, para pelajar secara tidak langsung dituntun untuk belajar apa yang tidak ada dalam buku mereka, belajar apa yang tidak dijelaskan oleh guru mereka, atau belajar apa yang tidak ditemukan di sekolah mereka.
Model seperti ini sebenarnya sudah digagas sebelumnya oleh bapak pendidikan kita yakni mbah Ki Hadjar Dewantara melalui filosofi tiga dinding kelas-nya. Kenapa kelas kok hanya tiga dinding? Padahal, umunya kelas itu ada empat dinding.
Ya, alasannya sangat filosofis bahwa agar si pelajar ini dapat melihat, dapat mengetahui sekaligus dapat belajar dari realitas kehidupan selain dalam ruang kelasnya melalui satu dinding yang hilang tersebut.
Jadi, pelajar tidak hanya belajar secara text book saja, melainkan belajar banyak hal di luar buku pelajarannya, entah itu dari internet, dari ngobrol sama teman, melihat tindakan masyarakat, mengamati kejadian alam dan lain sebagainya.
Nah, dari pengetahuan yang luas ini diharapkan si pelajar dapat mengerjakan soal ujian yang memang disengaja lebih sulit dan berbeda dengan materi pelajaran yang diajarkan guru.
Sehingga ketiga alasan tersebut mengenai soal ujian yang lebih sulit dan terkadang berbeda dengan materi pelajaran itu menurut saya sangat cerdik untuk menuntun para pelajar agar lebih giat dalam belajar dan lebih giat untuk mengasah pengetahuan mereka di dunia luar.
Jadi, para guru tidak memerintah pelajar secara sewenang-wenang ala diktator gitu, melainkan lebih konstruktif untuk menggiring pelajar secara perlahan agar lebih haus akan pengetahuan selain yang didapatkannya dari ruang kelas mereka.
Editor : Ciqa
Gambar: Pexels
Comments