Masyarakat sering kali tak bisa membedakan apa itu agama dan wilayah pemahaman agama. Tak jarang mereka suka menyalah-nyalahkan pemahaman orang lain, bahkan tak segan-segan mengkafirkan. Lebih-lebih di era digital, manusia dapat berdebat dengan leluasa tentang agama. Meskipun tidak dengan rujukan primer. Akibatnya baru tahu sedikit dari internet sudah berani menyalah-nyalahkan bahkan menghujat pemahaman kelompok lain.

Adalah Abdul Karem Soroush pemikir Islam yang lahir di Teheran Selatan (1945) memperjuangkan kebebasan, demokrasi dan pluralisme dalam pemahaman agama. Ia memulai pendidikan di Sekolah menengah Murtazawi dan Sekolah Menengah Alawi yang mengajarkan tentang Syariat dan Tafsir. Karir intelektualnya berkembang sejak ia memasuki Universitas Teheran.

Dalam kacamata orang Barat Soroush merupakan tipe pemikir pejuang kebebsan (free thingker). Dalam wawancaranya dengan Robin Wright, koresponden The Los Angeles Times, Soroush menyatakan “Saya telah meletakkan dua dasar. Pertama, untuk menjadi seorang mukmin, seorang (justru) harus bebas. Berada di bawah tekanan atau paksaan, tak akan menjadikan seseorang benar-benar mukmin yang sejati. Kedua, demokrasi Islam, yakni penafsiran teks-teks keagamaan harus terus berubah”.

Soroush fokus pada isu kebebasan berpendapat. Ia menyatakan: “Kita semua adalah manusia-manusia yang bisa salah. Meskipun agama itu sendiri sakral, tetapi penafsirannya tidak sakral, dan karena itu dapat dikritik, dimodifikasi, diverifikasi, dan didefinisikan kembali”. Menurut Sorouh kaum ulama dan intelektual terbuka dengan kritik, karena mereka bukan Nabi, apalagi Tuhan.

Karena itu, Soroush selain memperjuangkan demokrasi, ia juga mempromosikan pluralisme pemikiran Soroush untuk menghalangi lahirnya klaim otoritas kebenaran di antara pemahaman dan penafsiran agama dari seseorang atau kelompok tertentu. Penolakan otoritas kebenaran dalam pemahaman agama mengarahkan Soroush untuk memperbesar porsi paradigma pluralisme pemikiran. Dalam memahami Islam, Soroush menggunakan pendekatan pluralistik. Islam tidak lain adalah rangkaian tafsiran yang secara intrinsik bersifat plural.

Agama dan Pemahamannya

Menurut Abdulkarim Soroush, agama berbeda dengan pemahaman Agama. Pemahaman keagamaan tidak dapat dijadikan sebagai kebenaran absolut. Karena semua itu hanya merupakan hasil pemikiran manusia.

Forough Jahanbakhsh dalam Islam, Democracy, and Religious Modernism in Iran 1953-2000: from Bazargan to Soroush (Leiden: Brill, 2001), 148.  menggarisbawahi pemikiran Soroush ke dalam lima poin, antara lain: (1) pembedaan agama dan pemikiran keagamaan, (2) agama itu bersifat ketuhanan, kekal, tahan, dan sakral, (3) pemahaman keagamaan dan pengetahuan agama tidak sakral, (4) pemahaman agama dipengaruhi oleh pengetahuan manusia, dan (5) pengetahuan agama itu berubah-ubah dan terikat waktu.

Soroush menegaskan bahwa hanya agama yang tidak akan berubah, sedangkan pemahaman agama, penafsiran agama, dan ilmu agama akan berubah sesuai dengan waktu. Sifat “perubahan” yang tidak dapat dielakkan oleh pemahaman dan penafsiran agama ini yang diarahkan

Fikih Islam misalnya, terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Tetapi kadang dianggap sebagai agama, padahal hanya salah “satu cabang ilmu” untuk memahami agama. Bahkan, baru belajar fikih saja seolah-olah sudah paling agamis. Padahal, fikih adalah sebuah sistem pengetahuan buatan manusia. Fikih sama sekali tidak memiliki posisi istimewa di antara sistem pengetahuan lain. Fikih dapat berubah sebagaimana kumpulan pengetahuan manusia yang lain.

Jadi, yang abadi itu agama, bukan pemahaman agama. Agama setiap manusia adalah pemahamannya tentang kebenaran agama, sebagaimana setiap ilmu pengetahuan adalah pemahaman manusia tentang kebenaran alam semesta. Adapun ilmu pengetahuan adalah upaya manusia memahami alam. Pengetahuan keagamaan adalah suatu upaya manusia untuk memahami agama.

Selama orang belum membedakan antara agama dan pemahaman agama, orang akan merasa paling benar sendiri dan menyalahkan orang lain. Agama itu suci dan ukhrawi, sedangkan pemahaman agama adalah manusiawi dan duniawi. Yang tetap adalah agama (din), sedangkan yang mengalami perubahan adalah pengetahuan agama (ma’rifah al-diniyah).

Agama tidak membutuhkan perbaikan dan penyempurnaan. Akan tetapi ilmu agama akan terus-menerus diperbaiki. Agama bersih dari segala buah pikiran manusia, tetapi ilmu agama sangat dipengaruhi pikiran manusia. Agama turun atas kehendak Tuhan, tetapi memahami dan mengamalkan agama tergantung manusia. Syariat agama tidak akan pernah setara dengan opini manusia.

Ayat-ayat al-Qur’an adalah wahyu, tetapi  interpretasi ulama atau faqih terhadap ayat-ayat tersebut bukanlah wahyu. Oleh karena itu penting untuk membedakan mana wahyu dan dan ra’yu (pemikiran).

Teori Penyusutan dan Pengembangan Pemahaman Agama

Teori penyusutan dan pengembangan interpretasi agama (the contraction and expansion of religious interpretation atau qabdh wa bast) merupakan paradigma yang ditawarkan Soroush untuk membendung arus otoritarianisme sebuah penafsiran agama. Teori ini dipandang dapat menjadi pilar penguat pluralisme dan nilai-nilai demokrasi. Tujuannya adalah supaya agamawan tidak terjebak dalam sebuah penafsiran kelompok agama tertentu, apalagi menobatkannya sebagai satu-satunya pemahaman keagamaan yang benar.

Teori ini menilai ilmu agama sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan manusia. Teori yang menganggap pemahaman tentang agama akan terus berevolusi bersama cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya. Di sini perlu ditegaskan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah baqa, tetapi pemahaman harus mengalami penyegaran. Bagian yang tetap adalah agama, dan yang berubah adalah pemahaman agama.

Betapapun bersihnya dan murninya keyakinan atas agama, itu bukanlah agama. Ilmu agama terus hidup melalui hubungan, kerja sama, dan kompetisi yang konstan di antara ulama. Ada orang-orang yang dengan dalih menjaga kemurnian agama, menolak pemikiran orang lain. Upaya ini, mengakibatkan isolasi dan kakunya beragama.

Teori perluasan dan penyempitan pemahaman agama Soroush mengajukan tiga prinsip: pertama, prinsip koherensi (keterpaduan) dan korespondensi “sekumpulan pengetahuan manusia”. Kedua, prinsip interpretasi, bahwa pemahaman manusia adalah tafsir dipengaruhi subyektivitas individu. Ketiga, prinsip evolusi, bahwa sistem pengatahuan manusia akan terus berevolusi mengalami perluasan atau penyempitan pemahaman.

Dengan demikian, interpretasi substansi (penafsiran) atau perkiraan interpretasi (penakwilan) terhadap Agama, tanpa pendapat pribadi sangat tidak mungkin.

Soroush menyatakan, “Kita adalah syaarih (penafsir agama), bukan syari’ (perancang agama)”. Menerima kedaulatan Agama tidak berarti mengatas-namakan kata-katanya sebagai sabda Nabi dan merebut kedudukannya. Para ulama adalah penyusun ilmu agama yang tidak sempurna. Mereka harus dihargai sebagai mujtahid, orang yang bersungguh-sungguh memahami Alqur’an dan Sunnah. Meraka tidak menghasilkan “pengetahuan suci”, tetapi yang suci adalah “wahyu”.

Muhammad Saw. adalah Nabi dan Rasul terakhir, dan agama Islam adalah agama terakhir. Akan tetapi, tidak ada pakar hukum (fakih), pakar tafsir (mufassir) terakhir. Dengan kata lain, Agama terakhir sudah datang, tetapi pemahaman agama yang terakhir belum ada. Dengan demikian, ilmu agama “bisa jadi” penuh dengan kekeliruan, dugaan dan keyakinan. Kesalahan dalam ilmu agama berperan sama banyaknya dengan peran pemahaman. Jika seseorang telah menganggap suatu pendapat salah. Karena itu ilmu agama berubah berevolusi (menyusut dan mengembang), membesar dan mengecil. Ilmu ini bersifat temporal dan selalu berhubungan dengan budaya manusia lainnya.

Penulis: Azaki Khoiruddin

Ilustrator: Ni’mal Maula