Sesungguhnya, mereka yang memiliki ambisi menjadi overachiever, mahasiswa berprestasi (mapres), presiden mahasiswa (presma), aktivis organisasi, dan “tokoh mentereng” lainnya tidak sekeren apa yang ada dalam benakmu. Boleh jadi, si biasa-biasa sajalah maha insan di tengah zaman serba menuntut penampilan terbaik ini!
Barangkali kau sering menemukan “bibit-bibit unggul sejak lahir” melanglang buana namanya berkat keunggulan mereka, entah itu karena kepiawaian menulis, kemahiran dalam memimpin organisasi, ataupun bakat super lainnya. Begitu megahnya sosok mereka, sampai-sampai mengunyah asam garam kehidupan mereka pada koran pagi menjadi sarapan sehari-hari.
Benakmu pun melayang pada kepahitan masa lalu. Suatu cerita bagaimana kau gagal meraih impianmu, meski separuh nyawa sudah dikerahkan seikhlas mungkin. Suatu cerita bagaimana berkawan dengan kegagalan terus menghantui kedamaianmu. Suatu cerita yang alih-alih membuat diri terpincut, malah menerbitkan rasa menyerah menyambung perjuangan.
Itu membuatmu malas, itu membuatmu memilih rebahan, itu membuatmu mempercayai bahwa takdirmu adalah menjadi pecundang sejati. Sudahlah! Memang dunia ini milik orang-orang pilihan! Keluh kalbumu, yang kau ucapkan dalam bentuk sambatan di akun Twitter pribadimu.
Sampai suatu hari kau menemukan kisah seorang dari mereka tersandung kasus “penistaan prestasi”. Menyadarkanmu bahwa ternyata selama ini ada udang di balik batu pencapaian. Tidak selamanya yang baik terlihat baik.
Tersadarkan
Penistaan prestasi, dalam hal ini plagiarisme, dalam dunia kepenulisan, akademik, maupun bidang lainnya, bukanlah persoalan baru. Apalagi jika pelaku seorang terkemuka di bidangnya. Beritanya akan mengalir dengan deras.
Jika tidak percaya, coba tengok kasus plagiarisme di tingkat mahasiswa beberapa tahun belakangan ini. Seorang mahasiswa overachiever di kampus x dengan prestasi berjibun, didakwa netizen telah memplagiat karya milik orang lain. Hampir semua karyanya yang diikut lombakan, mau dari A sampai Z, isinya benar-benar sama persis!
Tahu kasus viral di dunia kepenulisan pada awal Desember tahun lalu? Seorang penulis terkenal di kalangan emak-emak diduga menyalin isi dari buku beken di masa lampau untuk kemudian dia sulap seolah-seolah itu adalah karya otentiknya sendiri. Yang sebagaimana diketahui penulis tersebut tergolong sebagai salah satu overachiever muda dengan sejumlah prestasi hebatnya.
Kita tidak bisa menebak, apakah mereka murni melakukan plagiarisme dari awal sampai akhir atau tidak. Apakah mereka mengejar popularitas atau tidak. Apakah dari buah perbuatan itu mereka menjadi insan bahagia atau tidak. Kita tidak akan tahu itu.
Melody Wilding (2020) dalam artikelnya berjudul “The Surprising Downside Of Being An Overachiever” di laman Forbes mendeskripsikan istilah The Honor Roll Hangover dengan apik. Intinya, standar kepercayaan diri dan kesuksesan dalam hidup mendorong seseorang untuk terus berlari. Ambisi menjadi overachiever merupakan salah satu caranya.
Nah, masalahnya kebanyakan orang menangkap makna prestasi dalam bentuk keterukuran saja. Semakin banyak jumlah prestasi yang diperoleh, maka semakin terpenuhi pula rasa aman dari kegagalan. Apalagi jika pencapaian tersebut diakui banyak orang dan menemukan audiensnya, membakar ambisi diri untuk meraih lebih dan lebih. Soal kualitas? Aih, itu bisa menyusul!
Jika selama perjalanan tidak mencapai prestasi sebesar target, dalam artian negatif ada kemungkinan seorang overachiever menghalalkan segala cara, termasuk dengan memplagiat. Pikir mereka, lebih baik mendapat kemenangan dengan cara mudah ketimbang terlihat gagal di depan banyak orang. Saat kebetulan jumlah prestasi banyak pun, mereka secara tidak sadar akan menciptakan ilusi tentang hebatnya diri mereka.
Tidak menyadari bagaimana perbuatan tersebut merugikan banyak orang, yang secara implisit memaksa untuk mengejar standar kesuksesan seorang overachiever, tanpa tahu rahasia-rahasia kelam di belakangnya. Tambah lagi menciptakan rasa tidak nyaman baru dalam diri banyak orang, sehingga terciptalah budaya kompetisi untuk terlihat “paling wow”.
Dalam ranah lebih pribadi, menghalalkan segala cara juga merugikan diri sendiri secara berkepanjangan. Barangkali modus operandi pelaku tidak ketahuan sekarang, namun percaya saja waktu akan menyibak segalanya. Seketika itu, reputasi akan rusak dan tentu saja menyakiti perasaan korban yang mendengar kasusnya.
Dari tulisan ini, kamu bisa menyimpulkan sendiri bahwa tidak selamanya ambisi menjadi overachiever itu baik. Banyaknya prestasi yang diperoleh sepatutnya dipertanyakan dan dikritisi. Misalnya, apakah jumlah itu bisa dicapai dalam waktu sepadat mungkin atau tidak.
Namun, bukan berarti aku melarangmu untuk berjuang bahkan mengaminkanmu menjadi seorang overachiever. Bukan, bukan seperti itu. Karena, tidak sedikit juga kok mereka yang banyak prestasi tapi berjuang keras tanpa berbuat curang.
Hanya saja, jangan sampai kau merasa tersiksa dalam melakukannya. Merasa bahwa itu merupakan suatu keharusan untuk menghindarkan diri dari rasa gagal. Oleh sebab hal terpenting adalah kesenangan dalam mempelajarinya dan imbas perkembangan diri berkat darinya, bukan hasil dalam bentuk angka semata.
Editor: Lail
Gambar: Pexels
Comments