Belakangan ini halaman rumah saya menjadi begitu ramai, bahkan cinderung bising. Bermacam-macam judul lagu dangdut, dari melayu hingga koplo, secara terus menerus diputar begitu keras melalui sound system yang ngebas. Secara rutin, musik diputar sejak pagi hingga sore. Berhenti hanya ketika menjelang sholat dhuhur juga ashar. Pikir saya mulanya, ada semacam hajatan di belakang rumah, tapi saya ragu, masak iya? Halaman belakang rumah saya saja dipenuhi dengan pohon-pohon pisang yang cinderung mirip hutan belantara. Malah kata ibu saya sudah termasuk area alas atau hutan desa.
Sehari dua hari saya amati pola yang sama masih terus berjalan. Suara lagu dangdut terdengar begitu keras sejak pagi hingga sore. Akhirnya karena kelewat penasaran, saya bergegas ke belakang rumah, saya cek. Usut punya usut, ternyata bukan hajatan atau sejenisnya yang saya temukan. Tidak ada tenda, kursi, ataupun panggung sebagaimana yang saya pikir sebelumnya. Hanya ada linggis, bambu, tali tambang, dan ember. Ya, saya justru menemukan tetangga saya sedang menggali sumur. Yang bikin heran bukan kepalang, ia memboyong dua sound system besar di dekat area galiannya.
Awalnya saya begitu tercengang. Ini adalah fenomena pertama yang baru saya jumpai. Sepanjang pengalaman hidup, tidak ada tukang gali sumur yang semacam itu. Dasarnya anak sosial, rasa penasaran saja ternyata tidak cukup terjawab hanya dengan melihat. Saya akhirnya bertanya di sela-sela jeda istirahatnya. Ia tetangga saya, rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah saya. Mungkin sekitar 300 meter. Namanya Prihadi, penggali sumur desa.
Meski terkesan menambah beban diri sendiri, Pak Prihadi tak merasa demikian. Menurutnya, dua sound dan alunan musik dangdut yang distelnya keras-keras adalah ikhtiarnya untuk menikmati pekerjaan. Meski sebetulnya ia tidak sendiri dalam bekerja karena dibantu oleh satu orang kuli angkut tanah. Namun kadang ia masih merasa kesepian ketika menggali sumur ke dalam. Hanya bebatuan dan lempung yang menemani, kan suntuk. Jadi alunan musik dangdut yang memang saya sukai cocok untuk menjadi teman yang menyenangkan, tuturnya. Jika bekerja selama tujuh atau sepuluh hari, maka selama itu juga ia akan memboyong sound system-nya.
Lebih lanjut, ia menuturkan bila musik dangdut adalah salah satu bentuk upayanya untuk mewujudkan kesyahduan dalam bekerja. Apapun pekerjaannya, meskipun hanya tukang gali sumur sekalipun seperti dirinya, tetap saja kerja harus dinikmati. Meski bukan pekerjaan mewah dan nyentrik, bahkan cinderung berat dan kasar, gaji juga tak seberapa besar, namun dengan alunan musik dangdut, saya sudah merasa senang dan bahagia. Saya tidak terlalu memikirkan besaran uang, saya hanya ingin mencari dan merasakan kebahagiaan saja.
Buat apa ngoyo-ngoyo cari uang banyak, katanya. Yang penting bisa makan dan punya gubuk buat tidur saja sudah lebih dari cukup. Jauh lebih bahagia ketika bisa berkumpul bersama dengan keluarga tanpa memikirkan hal-hal yang menyedihkan secama hutang misalnya. Ya memang tidak bisa dipungkiri bila uang sangat penting. Sekarang apa-apa harus dengan uang karena memang itu alat tukar yang sah dan diakui. Tapi saya tidak butuh banyak-banyak, yang penting cukup. Toh, kadang kebanyakan uang malah bikin masalah: pengen A, pengen B, dihutang A, dan masih banyak lagi. Dan, yang paling penting juga tidak semua bisa ditukar dengan uang seperti kebahagiaan misalnya. Uang bisa membeli rumah besar magrong-magrong, tapi uang tidak bisa membeli kaluarga. Tidak bisa membeli cinta kasih, tidak bisa membeli kesehatan, dan yang jelas tidak bisa lagi saya merasakan nikmat menggali sumur sambil diiringi alunan musik dangdut, kan? Buat apa saya gali sumur kalau banyak uang. Hidup ini sudah penuh nikmat, jangan dipersulit dengan keinginan yang njlimet.
Percakapan itu tidak lama, paling hanya sepuluh hingga lima belas menit. Karena Ia harus makan, saya pun pulang meninggalkan halaman belakang rumah. Saya sama sekali tak menduga sebelumnya akan mendapatkan alasan yang semacam itu darinya. Betapapun sederhana hidupnya, bahkan mungkin sebetulnya kekurangan, tapi pandangannya akan dunia begitu lekat dengan kacamata syukur. Merasa selalu cukup dan begitu menikmati. Saya geleng-geleng, kok malah jadi malu sendiri.
Mungkin selama ini saya hanya menemukan konsep kebahagian seperti itu hanya dalam tataran wacana. Mulai dari quotes Mario Teguh, Instagram, ataupun Google. Namun tukang gali sumur di halaman belakang rumah saya memberikan contoh yang empiris. Kebahagiaan adalah soal syukur. Lebih baik apa adanya yang penting cukup dan bisa dinikmati ketimbang banyak tetapi selalu kurang dan sukar dinikmati.
Sejak tiga hari proses penggalian sumur dilakukan. Saya mulai terbiasa dengan alunan musik dangdut kepunyaan Pak Prihadi. Bahkan juga ikut menikmati hingga hari-hari selanjutnya. Tak ketinggalan juga mulai belajar meminjam kacamata syukurnya.
Editor: Ciqa
Gambar : Pexels
Comments