Apa jadinya jika beberapa tahun lagi tempat tinggal kita akan berubah menjadi penuh sampah plastik? Halaman rumah, selokan air, atau bahkan di dalam rumah yang dipenuhi sampah karena sudah membludaknya sampah plastik yang sering kita gunakan. Mulai dari sampah plastik bekas jajanan, sterofoam dari makanan yang dipesan secara online, boublewrap dari bungkusan belanja online, hingga botol plastik yang kita minum setiap harinya.

Turut menyumbangkan sampah setiap harinya

Apa kita pernah sadar, bahwa setiap harinya kita telah menyumbangkan banyak sampah plastik dan kita mengabaikannya? Tanpa tahu bahwa sampah plastik akan sangat berbahaya untuk keberlangsungan makhluk hidup jika tidak dikelola dengan baik. Mengutip dari Aksi Kita Indonesia, ada sekitar 8,3 miliar ton plastik telah di produksi di dunia dan hanya 9% yang didaur ulang. Sisanya, ada di tumpukan sampah halaman rumah, sungai, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), lautan, dan di pinggr-pinggir jalan raya.

Bayangkan saja ada sekitar 5-13 juta ton sampah plastik mengalir ke lautan tiap tahunnya. Dan fakta yang mengerikan adalah lautan Indonesia penyumbang sampah terbesar kedua di dunia. Jadi jangan heran, jika ada berita hewan laut yang tersangkut plastik atau didalam tubuh ikan banyak potongan-potongan plastik.

Tidak hanya itu, penelitian yang dilakukan oleh Convervancy mengatakan, 28% ikan Indonesia mengandung plastik. Tentu ini akan sangat berbahaya bagi hewan laut dan manusia ketika dikonsumsi terus menerus. Alih-alih mengkonsusi ikan untuk menambah nutrisi tubuh, yang ada kita adalah memakan plastik dari plastik yang kita buang ke lautan.

Masih sulit memang untuk sadar dan peduli mengenai penggunaan plastik di tambah lagi peran pemerintah yang belum maksimal dalam memberikan peraturan perihal penggunaan plastik. Tidak hanya itu, kesadaran masyarakat perihal plastik yang masih menganggap bahwa sampah plastik hanyalah persoalan sepele.

Menormalisasi dari hal kecil, ternyata dampaknya…

Misalnya saja adalah sedotan plastik, “ah cuma satu” kata dua juta orang Indonesia. Bayangkan jika dalam satu hari dua juta dari penduduk Indonesia memesan kopi atau minuman dengan menggunakan cup dan sedotan plastik sekali pakai tentu ini sampah yang sangat banyak.

Bisa-bisa dalam satu bulan, sampah cup dan sedotan plastik sekali pakai ini bisa menjadi gunungan sampah baru di TPA. Belum lagi sampah plastik lainnya, seperti sampah plastik dari kemasan makanan yang dibeli secara online.

Produsen dan konsumen tentu mana mau tahu sampah plastik yang telah mereka hasilkan ini akan memiliki dampak lingkungan yang sangat serius. Yang penting cuan aman, isi mulut dan perut terpenuhi urusan selesai.

Soal sampah plastik, saya berangan-angan seandainya saya tinggal di Korea Selatan ataupun Jerman dimana pemerintah dan warganya sudah peduli dan terbiasa soal manajemen sampah khususnya sampah plastik. Di kedua negara tersebut, sudah mengkategorikan setiap sampah, misalnya saja sampah plastik daur ulang, sampah makanan, sampah botol, bahkan mereka memisahkan stiker brand dari kemasa botol atau tempatnya.

Solusi yang bisa dipertimbangkan untuk menguranginya

Di Indonesia, walaupun belum seketat manajemen sampah di kedua negara tersebut sudah ada Bank Sampah untuk menampung sampah rumah tangga. Sayangnya masih banyak yang hanya tukcing alias dibentuk cicing (diam). Berjalan hanya di awal saja, lama-kelamaan keberadaan Bank Sampah seperti ditelah bumi alias sudah tidak berjalan lagi.

Contohnya saja Bank Sampah di rumah saya, keberadaannya aktif hanya dalam beberapa bulan saja. Padahal keberadaan Bank Sampah disetiap RW bisa membantu masyarakat untuk lebih peduli terhadap sampah dan lingkungan.

Alhasil karena Bank Sampah di lingkungan rumah sudah tidak aktif lagi, warga sekitar kembali membuang sampah ke sungai atau membakarnya di halaman rumah. Ketika musim penghujan tiba dan air sungai meluap, warga ketar-ketir menyelamatkan harta benda dari banjir.

Semoga saja, ke depannya Indonesia bisa melakukan terobosan mengenai persoalan sampah. Predikat kedua sebagai penyumbang sampah ke lautan di dunia bukanlah sebuah prestasi yang patut dibanggkan. Seharusnya, kita malu dan segera tergerak hatinya untuk mengurangi penggunaan plastik disegala aktivitas.

Editor: Nawa

Gambar: Google.com